Aliran udara dari hidung menuju paru-paru mulai terasa jauh lebih lancar. Suasana kehidupan di Jakarta sudah menggoda mata dan terasa nyata. Pulang! Marilah pulang ke tempat yang lebih rasional.
Ketika sudah selesai berkemas, Robi begitu terkejut melihat gambar dirinya tergeletak bersama benda-benda berwarna hitam. Dia katakan bahwa yang dikeluarkan dari botol adalah media guna-guna atau santet. Namun, yang menjadi pertanyaan, siapa yang mau menjahati Robi dengan menggunakan makhluk halus sebagai prajurit?
Aneh, sangat aneh. Robi bukan warga sini. Dia juga tidak tahu apa pun tentang seluk beluk kampung ini.
Wajah Robi terlihat tegang ketakutan. “Ini kan foto pas gue baru nyampe di tempat ini, Yan,” terangnya dengan suara bergetar. Aku mengangguk, berusaha tetapi mengalirkan afirmasi positif melalui ekpresi dan bahasa. “Lu tahu kan jalan alternatif untuk kita pulang, Yan?” tanyanya, gusar.
Aku memutar otak, mengasah ingatan. “Memangnya, kenapa kalau kita lewat jalan umum?” tanyaku balik. Ya, tak ada jalan lain yang terpikir olehku. Dari dulu, hanya ada satu jalan dari kampung ini menuju jalan raya.
“Kita harus pergi tanpa diketahui oleh siapa pun, Yan. Jangan tanya kenapa! Gue nggak bisa jelasin di sini,” ungkapnya.
Benar. Bukan saatnya bertukar cerita atau berdiskusi. Lebih baik kami segera pergi sebelum hal-hal yang terduga muncul, seperti Aisah dan ibunya yang acap kali tiba-tiba datang. Mereka pasti tidak akan mengizinkan aku dan Robi pergi dari kampung ini sekarang.
Sejenak aku memusatkan konsentrasi. Merekonstruksi serangkaian kisah yang pernah membawaku menapaki batas antara Citiis dan Cibatu.
“Oke. Gue ingat sekarang, Bi. Ada jalan lain yang bisa kita lalui, tapi jaraknya cukup jauh,” ucapku sembari menyodorkan jatah sarapanku kepadanya.
Butuh tenaga ekstra untuk menyusuri jalan yang pernah aku lalui hingga tiba di jembatan. Robi tertidur berhari-hari. Tenaganya pasti terkuras habis.
“Gue baik-baik aja,” tegas Robi. Dia lekas menggendong ranselnya. “Mending lu periksa keadaan di luar,” suruhnya.
Aku julurkan kepala dengan membuka seperempat pintu. Tak ada motor Aisah, tak ada juga warga yang melintas di jalan. Semesta tampaknya mendukung langkah aku dan Robi untuk keluar dari kampung ini.
Jika sudah tiba di Jakarta, cerita kabur atau melarikan diri ini akan menjadi bagian yang lucu untuk dikenang. Maaf, tak ada maksud meninggalkan kesan buruk untuk kebaikan Mang Dendi, Aisah, dan si Ibu.
Aku kuatkan ingatan kala Mang Sata membawaku melewati jalur persawahan untuk sampai di jembatan. Kami lantas menjejaki pematang sawah. Tak hanya berlawanan arah, tetapi juga menempuh akses jalan yang mungkin tidak masuk akal.
Mendung mulai menutup pancaran cahaya dari langit. Rintik-rintik gerimis turun disertai hembusan angin yang cukup kencang. Sejauh mata memandang, tak ada seorang pun yang beraktivitas mengurus lahan padi.
Apakah itu aneh? Tak lagi. Aku tidak peduli hal lain, selain meniti jalan pulang.
Aku terus memerhatikan langkah Robi. Tiba-tiba dia mengajak untuk mempercepat ayunan kaki. “Lari, Yan!” katanya terdengar gelisah.
Lurus di hadapan kami, arah Utara, segerombolan orang berjalan tanpa terlihat jelas rupa mereka. Tubuhku pun bergetar gelisah nan khawatir. Ke arah mana harus berlari, sedangkan kami dalam kondisi yang lemah.
“Sebelum gue pingsan, gue lihat mereka menghampiri gue,” jelas Robi.
Timur atau Barat, jalur mana yang harus dipilih? Tak mungkin bila harus memutar kembali ke Selatan.
Akkkh!!!