Tak ada yang mudah nan rasional. Begitulah kalimat yang pantas untuk menggambarkan situasi di Citiis. Rencana untuk pulang terus mendapatkan hadangan. Bahkan, tak terprediksi setiap hal yang bisa menjegal langkah.
Aku tertunduk lesu sembari menahan perih di lengan yang terkena sabetan golok. Pikiran terus bersemedi menghajatkan ilham agar mampu menyingkap tabir dengan segera. Tempat ini dan si Bibi yang membantuku, misteri apa lagi yang bernaung di dalam perjalananku?
Mengapa Engkau suguhkan hamba kisah yang kusut seperti ini, Tuhan? Apa salah hamba? Tidakkah Engkau iba melihat bagaimana setiap hari hamba harus menelan kesedihan berhadapan dengan skenario-Mu? Air mataku berlinang seiring kesal yang meraung-raung di dasar hati.
Tak ada niat untuk menghujat alur Tuhan, atau pun menumbuhkan hasad di dalam kalbu. Aku hanya letih menelaah enigma yang tak berhenti menghampiri menguliti akal sehat. Ingin rasanya berteriak menantang semua peristiwa beserta keganjilan yang bermukim di desa ini. Namun, tentunya, aku harus bisa menahan diri.
“Lu melewati banyak hal yang berat ya, Yan—selama gue hilang kesadaran?” Robi duduk di sampingku. Ia julurkan tangan kanan menempel di bahuku. “Gue pikir hidup gue sudah ada di alam lain. Gue pernah lihat lu berdiri di sebuah persimpangan. Lu tampak kebingungan memilih jalan. Terus gue panggil-panggil lu, tapi lu nggak noleh sedikit pun. Padahal, gue ada di dekat lu,” paparnya.
Apakah itu kejadian waktu aku hendak bertamu ke rumah Mang Sata? Bisa jadi. Akan tetapi, aku sedang tidak ingin membahas hal tersebut. Keinginanku saat ini, yakni memulangkan Robi ke Jakarta.
“Bi, gue cuma pengen mulangin lu. Gue nggak mau lu terlibat dalam masalah gue ini,” lirihku.
“Sepertinya semua peristiwa di sini sudah menjadi masalah gue juga. Buktinya, foto gue ada di dalam botol guna-guna. Selain itu, ketika gue terbaring, gue sayup mendengar percakapan tentang kita. Katanya, mereka tidak akan melepaskan kita dari kampung ini,” ungkap Robi.
“Siapa yang lu maksud mereka, Bi?” tanyaku penuh rasa penasaran.
Robi menggelengkan kepala. Dia seakan mampu membaca nama yang aku terka, dan dia mementahkan terkaanku.
“Kalian sudah tahu segalanya. Kalian tidak akan bisa pulang begitu saja. Saya pun hanya dapat membantu dengan menyediakan tempat tinggal seadanya bagi kalian,” ujar si Bibi yang berjalan menghampiri kami dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh.
Kontan aku dan Robi melirik ke arah si Bibi secara bersamaan. Tahu segalanya? Apa yang aku dan Robi tahu?
Aku tahu cerita tentang Mang Sata, tetapi itu pun masih mengambang seperti sebuah asumsi. Lalu, apakah pengetahuan yang kami miliki berkaitan dengan si Ibu, Aisah, dan Mang Dendi? Ada apa sebenarnya?
Aku berdiri melayangkan tatapan tajam penuh harapan kepada si Bibi. “Bi, tolong jelaskan secara rinci maksud pernyataan Bibi! Saya sudah tidak tahan disodorkan dengan segala hal berbau misteri di kampung ini. Dan jelaskan juga siapa Bibi sebenarnya,” tuturku tanpa bermaksud tidak sopan.
Si Bibi menghela napas. Dia lalu mengajak akan dan Robi ke bagian belakang rumahnya.
Betapa terkejutnya saat mataku melihat gundukan tanah berjejer. Beberapa di antaranya memiliki patok nisan dan dipugar dengan bebatuan.
“Yan…. Yan…. itu kuburan mereka. Benar, kuburan mereka. Ini persis seperti yang pernah gue lihat dalam alam bawah sadar gue, Yan,” ucap Robi dengan suara penuh vibrasi.
“Mereka siapa, Bi?” tanyaku.
“Mereka…. sebagian adalah tetanggamu,” jawab si Ibu.
Tetanggaku? Jadi, benarkah ada pembantaian di Citiis? Tetapi, mengapa pemakaman mereka tersembunyi begini?