Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #20

Bab 19: Menjemput Mala

Awan putih mengambang dengan khuysu bagaikan payung yang menaungi kepala dari sengatan matahari. Gemercik air yang menerjang bebatuan laksana kidung ibu yang mengantarkan ke peraduan. Gerbang telah terbuka, kuasa kata menjadi penentu selanjutnya mengiba pijakan.

Robi melengkingkan suara di tengah jembatan. Dia tampak begitu bahagia, berpamitan dengan alam.

Sementara itu, langkahku terpasung oleh keram. Kaki terasa begitu berat untuk diajak berayun. Namun, kupaksakan sedikit demi sedikit berjalan. Beberapa meter lagi, kisah di Citiis akan tamat walau ceritanya menggantung.

Ya, terkadang tidak semua akhir cerita harus ditasbihkan dengan bahagia atau tidak. Kehidupan akan terus bergerak ke depan. Segala yang akan berlaku di esok hari bisa dijadikan sebagai kelanjutan bagi cerita yang terjadi kemarin dan hari ini.

“Yan, lu kenapa?” tanya Robi, berteriak.

“Gue nggak apa-apa, Bi,” jawabku sembari mengacungkan sebuah kode membulat yang dibentuk dari persatuan jari telunjuk dan jempol.

Meskipun melangkah dengan tertatih-tatih, tetapi aku sampai juga di pangkal jembatan. Senyum membumbung ke angkasa. Hidung bekerja dengan damai, menukarkan udara yang diolah oleh paru-paru.

Huh! Akhirnya, kita bisa pulang, Bi. Biarlah pakaian dan harta yang tertinggal menjadi jejak peninggalan kita di sini. Ucapku dalam hati, memanjatkan rasa syukur.

Aku berhenti untuk meluruskan kaki sejenak. Mata terpejam khidmat merasakan keasrian alam, sebagai satu-satunya buah tangan untuk diriku sendiri kala kembali bergulat dengan ruwetnya ibu kota. Lantas, kubayangkan rutinitas yang memuakkan, tetapi sedang begitu dirindukan; mengadu sabar dengan kemacetan dan polusi di jalanan.

“Kita nanti cari aja tebengan buat ke Terminal Serang, ya, Bi. Gue yakin orang sini baik-baik. Kalau sudah di terminal, gue akan minta tolong ke orang untuk numpang menelepon Abi gue. Mau nggak mau gue harus ngasih tahu Abi mengenai sinopsis kisah kita ini agar beliau bersedia menjemput. Ya, dimarahi dikit nggak apa-apalah. Anggap saja bernostalgia ke masa anak-anak di mana kita sering dimarahi saat bermain tanpa kenal waktu,” tuturku, memaparkan gambaran peta pulang.

Kutunggu Robi untuk menanggapi. Namun, dia tampaknya sedang menikmati kebahagiaan. Ya, berkat dia, kaki ini bisa tiba di gerbang keluar petualangan mistis.

“Oh iya, Bi….” Aku membuka mata. Akan tetapi, Robi lenyap tak meninggalkan bekas. “Bi…. Robi! Robi, lu di mana? Jangan nakut-nakutin gue, Bi!”

Aku paksakan tubuh untuk berdiri, meski tumpuannya tidak bisa tegak. Hanya dalam satu paragraf, dia menghilang tanpa mewartakan akan ke mana.

Seruan namanya terus kulambungkan ke berbagai penjuru mata angin. Hati yang semula gembira berubah menjadi lara. Permainan apa lagi ini?

Rintik-rintik air menghujam dari langit. Awan putih berlarian ketakutan dikejar sang hitam. Cuaca di sekitar jembatan seolah berada pada dimensinya sendiri yang suram nan mencekam.

Sambil menahan segala kesakitan, aku pandangi setiap tepi dengan jeli. “Bi, lu ke mana? Ayo kita pulang!” Kedua bola mataku terasa mulai perih.

“La…. la…. lari, Yan!” suruh Robi dengan pelafalan yang tertahan seakan ada yang menutup mulutnya. Sumber suaranya tampak tidak terlalu jauh dengan posisiku. Hanya saja, kedua kakiku benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

“Akhhhhh!!!” pekikku, kesal kepada diri sendiri. “Lu di mana, Bi? Apa yang terjadi sama lu, Bi?”

Seharusnya tadi aku tidak menutup mata. Tidak merayakan kemenangan yang belum melekat di dalam genggaman, dan tetap memacu kaki menuju jalan raya.

Bodoh! Bego! Ceroboh! Kembali jatuh di neraka yang sama. Aku seperti tidak memiliki otak. Tidak bisa mengambil secuil pun pelajaran dari pengalaman.

“Yana, Mamang cari kamu ke mana-mana. Rupanya, kamu datang dengan sendirinya untuk menemui Mamang.”

Lihat selengkapnya