Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #21

Bab 20: Tumbal Incaran

Malam dan siang berganti tanpa aku ingat nama hari. Gelisah, gundah, dan larat bergumul menyiksa batin. Di mana dan bagaimana keadaan Robi? Hanya doa yang bisa disematkan dalam harap. Sementara, aku masih menyusun tenaga; menyembuhkan luka.

Kulangkahkan kaki keluar dari pembaringan. Terdengar si Bibi seperti sedang berbicara dengan seseorang. Namun, jalinan kata demi kata yang mengalun dari bibir mereka terhantar samar di telingaku.

Aku mengendap-endap menuju sumber percakapan. Suara pria berbahasa Sunda-Banten, tetapi beraksen Jawa-Cilegon, menggaung dengan timbre yang berat.

Dia.

Ya, dia. Aku ingat suaranya.

Suaranya seperti orang yang mengejarku dan Robi tempo hari di area persawahan. Orang yang hendak membunuhku dengan golok panjangnya.

Dia tidak asing dalam pendengaranku. Hanya saja, aku masih ragu untuk menyebut namanya sebelum jelas melihat wajahnya.

Dari celah persegi yang terbentuk oleh rangkaian irisan bambu, aku coba mengintip si Bibi dan lawan bicaranya. Sayangnya, pria tersebut langsung pergi tanpa bisa kuidentifikasi rupanya. Herannya, dia tetap diselimuti sinar gelap.

Siapa sebenarnya dia? Manusiakah atau bukan?

Aku berusaha membuka brankas memoriku. Aku yakin orang tersebut pernah tercatat dalam berkas perjalananku.

“Apa yang sedang Den Yana lakukan?” tanya si Bibi mengejutkanku.

Aku buru-buru merapikan posisiku. “Siapa dia, Bi? Apakah Bibi kenal dengan orang itu?” tanyaku balik.

“Emmm…. dia…. dia…. dia ha…. hanya warga yang kebetulan lewat sini,” jawab si Bibi, agak terbata-bata. Aku pun bisa membaca ada kebohongan yang bersembunyi di bawah lidahnya.

“Bohong!” tukasku. “Bibi pernah berkata bahwa tempat ini tak bisa terjamah oleh warga biasa. Hanya Mang Dendi, Aisah dan ibunya yang tahu tempat ini. Saya mohon jangan buat saya meragu pada kebaikan Bibi!” Kulambungkan pernyataan satir untuk memancingnya berterus terang.

Si Bibi mengalihkan pandangan. Lalu, dia berjalan menuju dapur untuk menghindari pertanyaanku.

Aku terus mengikutinya. Satu hal yang aku khawatirkan, yaitu dia tidak sedang benar-benar menolongku.

“Jawab, Bi!” pintaku, sedikit membentak.

Si Bibi berbalik badan. Dia menatapku tajam dengan mata berkaca-kaca.

Lihat selengkapnya