Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #22

Bab 21: Dualisme Rupa

Waktu berlalu begitu cepat, nyaris tanpa terasa. Tak ada jam yang bisa menunjukkan posisi jarum waktu secara pasti. Hanya cahaya lampu damar yang menyala menjadi penanda—sebuah isyarat bahwa malam telah tiba, kira-kira pukul enam sore. Segalanya berjalan berdasarkan perkiraan, bukan kepastian.

Apakah petualangku di sini akan panjang? Entahlah!

Aku berharap bisa segera menemukan Robi. Segala sesuatu yang terjadi di sini semakin mengoyak logika. Aku yang menjadi incaran mereka, tetapi Robi yang kini menghilang—ikut terseret dalam pusaran ini. Aku tak sanggup terus-menerus hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah.

“Bi, apa Bibi tahu di mana teman saya berada?” tanyaku menghampiri si Bibi yang sibuk merapikan pakaianku.

“Aden tidak perlu khawatir dengan keselamatannya,” jawab si Bibi.

“Bi, tolong jangan memberikan saya jawaban yang mengambang. Saya ingin bertemu dengan dia. Saya ingin memulangkan dia,” desakku.

Si Bibi menghentikan aktivitasnya. “Masalahnya, Aden tak bisa keluar dari sini. Aden lihat sendiri kan apa yang terjadi tadi siang. Nyawa Aden sedang begitu terancam. Lebih baik kita tunggu situasi di luar mereda sembari Aden memulihkan tenaga,” paparnya.

Aku menghela napas, menyabarkan diri. Hidup serasa berada di dalam sebuah kerucut. Semakin lama aku berada di sini, semakin terjepit ruang gerakku. Haruskah aku keluar saja dan menantang mereka?

“Jangan menjemput petaka, Den! Saya punya tanggung jawab besar untuk menjaga keselamatan Aden di sini,” ucap si Bibi seolah mampu menerawang isi pikiranku.

“Maksud, Bibi? Siapa Bibi sebenarnya? Bibi juga kenal dengan ….” Hampir saja aku menyebutkan nama ayah Rusman.

“Sepertinya ini sudah waktunya untuk Aden sembahyang,” sela si Bibi. Lalu, dia beranjak ke arah dapur.

Misteri. Setiap orang yang kutemui selalu menyuguhkan teka-teki. Hah!

Usai melaksanakan kewajiban Maghrib, aku rebahkan diri di atas tempat tidur. Satu hal yang belum sempat kutanyakan kepada si Bibi, yaitu bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan silsilahku.

Apa aku sambung lagi saja pertanyaan-pertanyaanku?

Ah, tidak. Kuperhatikan si Bibi dalam kondisi capek. Aku harus memberinya ruang untuk beristirahat terlebih dahulu.

Kuputar ingatan ke masa kecil. Seingatku, hidupku baik-baik saja sebelum tragedi paling traumatik itu terjadi. Tragedi hilangnya Hamid, Rusman, dan Musa di lokasi galian pembangunan jembatan, hingga memaksa aku hijrah dari Citiis.

Apakah itu awal mula yang membuat tanah kelahiranku menjadi mencekam? Ataukah peristiwa tahun 1999 itu benar adanya: Mang Sata yang menjadi sang penyebab utama keangkeran kampung ini?

Namun, aku merasa ada dua Mang Sata. Pertama, yang mengunjungiku dengan rupa sempurna. Kedua, yang memburu nyawaku dengan wajah hancur. Sungguh pelik misteri ini!

Lalu, bagaimana dengan si Bibi? Dia begitu mengenal tentangku, tetapi aku sama sekali asing dengan wajahnya.

Kucoba susuri ingatan menggunakan namanya, Nyi Sudarsih. Sekilas aku seperti pernah akrab dengan nama tersebut.

Apakah dia memiliki hubungan erat dengan keluargaku?

Andai saja aku bisa berkomunikasi jarak jauh dengan Abi dan Umi, mereka mungkin bisa menjawab banyak pertanyaanku.

Akh! Saat sedang berusaha mengingat dengan segala daya memori, aku malah diserang rasa kantuk yang hebat. Perlahan mataku tertutup, mengistirahatkan badan.

Tatkala baru memasuki alam mimpi, aku mendengar seruan Hamid, Rusman, dan Musa yang memintaku untuk pergi dari gubuk Nyi Sudarsih. Tak kutanggapi seruan mereka karena aku pikir itu merupakan bagian dari manifestasi kekalutan realitas hidupku. Jadi, aku memilih meneruskan perjalanan di alam bawah sadar.

Selanjutnya, aku terdampar di sebuah ruangan yang gelap. Tampak siluet seperti Robi duduk menyudut. Lantas, aku mendekatinya untuk memastikan.

Lihat selengkapnya