Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #23

Bab 22: Kubu yang Bertentangan

Surya membelai langkah menyusuri jalan setapak yang tampak tak terjamah oleh aktivitas manusia. Rumput tinggi dan ilalang mencumbu badan dari sisi kanan dan kiri. Sejauh mata memandang, tak terdeteksi arah tujuan.

“Kamu mau bawa saya ke mana, Aisah?” tanyaku, membuka percakapan.

“Menyelamatkan A Yana,” jawabnya datar.

“Dari?”

“Dari siapa pun yang mencoba mencelakai A Yana.” Aisah menaikkan volume suaranya. “Lebih baik A Yana mempercepat ayunan kaki supaya tak membuang-buang energi,” pungkasnya galak.

Aku seperti gembala yang sedang digiring olehnya. Berjalan mengikuti pecutan dan tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Baiklah! Aku menjadi gembala yang baik, tetapi bukan gembala cinta.

Kutingkatkan kewasapadaan diri sebab perangai Aisah menyeratkan seribu kejanggalan. Semula aku berharap dia membawaku ke tempat Robi disekap. Namun, kini kentara ada rencana lain yang dia jalankan.

Terjebak atau dijebak ke dalam sebuah jebakan. Aku belum bisa menarik kesimpulan.

Juga, terlalu dini untuk menganggap panggilan Hamid, Rusman, dan Musa sebagai sebuah pancingan agar aku “menyerahkan diri”. Ya, memang mereka yang membawaku dalam situasi seperti ini. Mereka yang membuat logikaku tersapu menelaah kehidupan di sini.  Akan tetapi, misteri mengenai mereka belum tersingkap sama sekali.

Terkadang aku merasa seperti berpindah-pindah dimensi. Terkadang aku berharap semua ini hanyalah mimpi. Nyata dan gaib semakin sulit untuk dibedakan. Segalanya seolah-olah sangat bergantung pada intuisiku.

“Berapa lama lagi kita sampai tujuan, Aisah? Lalu, apakah ini jalan menuju rumah Mang Dendi atau jalan menuju surga?” Aku kembali melemparkan tanya. Ini sangat aneh. Sudah menerobos tanaman liar dengan durasi yang lama, tetapi halte untuk meregangkan kaki pun tak tampak keberadaannya.

“Perjalanan akan menjadi jauh lebih cepat kalau A Yana tidak banyak berbicara,” jawab Aisah dengan sinis.

Aku lambungkan tawa kecil ke udara. “Bukankah perjalanan akan terasa lebih singkat kalau kita menikmatinya sambil mengobrol. Sejak kapan kamu kaku seperti ini, Aisah?”

Aku menoleh sedikit ke belakang, memerhatikan ekspresi Aisah.

“Di depan ada persimpangan. Ambil jalur ke kiri,” perintahnya.

“Kenapa harus ke kiri, bukan ke kanan? Kenapa harus sendiri kalau kita bisa saling berpegangan?” Aku lontarkan sedikit canda. Aku ingin tahu responnya.

Ternyata, dia diam. Dia justru mendorong punggungku dengan tongkatnya. Aku kencangkan tawa hingga bergema di udara.

“Jangan menertawakan saya! Atau saya tidak akan mempertemukan A Yana dengan teman A Yana,” ucapnya, marah.

“Oke, oke. Saya minta maaf. Saya hanya melonggarkan sendi-sendi yang terasa cukup kencang, karena dari tadi berjalan tanpa henti,” kilahku.

Bukannya berhenti tertawa, pikiranku justru mengawang menyandingkan penampilan Aisah dengan salah satu tokoh di sinema laga yang pernah kutonton semasa kecil.

Benar. Aisah seperti tengah ber-cosplay menjadi Mantili. Aku pun tak bisa menahan mulut dari jeratan kata “lucu”.

Duh! Maafkan aku, Aisah. Haha!

Aisah mendorongku lebih kencang. “A Yana!” serunya.

Baiklah. Kulanjutkan terpingkal-pingkal di dalam hati saja. Waktunya kembali pada mode serius. Persimpangan sudah berjarak cukup dekat.

Aku julingkan mata untuk meneliti keadaan. Perjalanan ini sudah sangat janggal dari awal. Pun, aku yakin arah yang dituduhkan Aisah bukan menuju perkampungan.

Lihat selengkapnya