Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #24

Bab 23: Raksa Jiwa

Robi menyangga dagu dengan kedua tangan. Dia tampak begitu gelisah meratapi tragedi yang mengiris kehidupan dalam beberapa minggu terakhir ini. Tragedi yang mempertaruhkan mental dan nyawa.

Kuhampiri dia sembari menata senyum. Rasa bersalah di dalam dada masih bertahta dengan prima. Berkali-kali aku meringis menangis karena begitu takut akan kehilangannya.

“Hari ini langit sangat cerah, ya, Bi. Ini hari tercerah yang pernah gue lihat selama di sini,” ujarku, mencoba mengalirkan ketenangan.

“Gue nggak mau mati di sini, Yan. Pulangkan gue secepatnya!” Robi menimpali pernyataanku dengan untaian ketakutan.

Hidup dan mati ada pada kuasa Tuhan. Namun, aku tak bisa menyampaikan tersebut kepada Robi. Hal yang harus aku lakukan sekarang, yaitu menguatkan pikirannya. Memberinya sugesti positif walau batinku pun sebenarnya tengah merintih ingin lepas dari zona mistis ini.

Aku lantas rentangkan tangan merangkul bahunya. Kucoba menyuguhkan topik yang membuatnya sedia untuk bercerita. “Gue mimpi lu disekap di rumah Mang Dendi. Alhamdulillah! Ternyata lu berada di sini. Lu diselametin sama Mang Sata, ya?”

Robi malah menitikan air mata. Kemudian, dia berdiri menatapku penuh emosi. “Mimpi lu benar. Bahkan, di sana gue nyaris dicincang olehnya. Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Yan? Siapa mereka yang sesungguhnya? Mengapa gue juga turut diincar oleh mereka? Padahal, mereka hanya menginginkan lu, Yan,” gusarnya.

“Maafin gue, Bi. Gue nggak tahu bakal terjadi hal seperti ini. Juga, gue masih dalam tahap mengidentifikasi mereka yang sebenarnya satu per satu. Mohon bersabar dan mengerti sedikit ya, Bi.” Aku tadahkan wajah memohon pengertian Robi.

Dari awal dia terlibat dalam ranah misteri Citiis, aku sudah ingin memulangkannya. Akan tetapi, aku belum menemukan jalan tersebut. Selalu saja terbentur dan terbentur lagi dengan keganjilan. Keganjilan yang seakan semakin menutup gerbang untuk keuar dari wilayah ini.

Tak kuduga, Robi melayangkan tinju ke pipi kiriku. Cukup keras, tetapi tak terasa menyakitkan. Mungkin saraf-sarafku terlalu tegang memikirkan jalan pulang hingga seperti mati rasa.

“Maaf? Gue nggak butuh permintaan maaf lu, Yan. Gue cuma pengen pulang. Lu cari jalan keluar dari sini. Gue nggak mau meregang nyawa di sini. Lu juga harus mengerti gue, Yan. Gue belum mau mati,” suara Robi menggelegar bagai petir. Memakiku dengan segenap urat-urat di lehernya.

Dia terus berkata tentang ketakutannya terhadap kematian. Batinku tercabik, perih menganga. Dia tidak tahu bahwa aku lebih takut dia yang mati dibanding diriku sendiri.

Aku mengalihkan pandangan ke tepi yang lain untuk menahan laju air mata. Aku juga berupaya mencegah emosiku tumpah supaya tak tercipta sebuah perdebatan atau perkelahian kosong.

Kulemparkan senyum kecil kepada Robi. Mencoba menetralisasi sorot matanya yang begitu berapi-api.

Robi menarik kerah bajuku. “Gara-gara lu, gue harus mengalami kejadian-kejadian setan ini. Sekarang dengan santainya lu senyam-senyum ke gue. Sementara, yang harusnya jadi tumbal itu lu. Cuma lu. Tidak perlu menyeret gue dalam masalah lu.”

Aku memaklumi segala umpatan Robi. Namun, kali ini, aku merasa dia sudah terlampau jauh salah paham. Dalam lidahnya seolah bersemayam banyak tuduhan untukku.

Robi melepaskan cengkramannya dengan melemparkan tubuhku ke tanah. Luka yang baru terasa mendingan, menjalar kembali hingga nyeri dan ngilu menggerogoti tulangku.

Perangai Robi sungguh sudah melampaui batas toleransiku. Aku lekas bangkit untuk meladeni perbuatannya. Terkadang batu harus dilawan dengan batu, bukan dengan kertas.

Kukepalkan tangan kanan, lalu menghujamkan pukulan keras ke pipi kirinya. Seketika dia terkapar melantai sembari memegangi tapak balasan tinju dariku.

Lihat selengkapnya