Sunyi merangsak menyelimuti pekatnya malam. Semua tragedi gaib berkerumun di kepala, menuntun pada dilema tak berujung. Tak mungkin terus menetap di tempat ini. Sementara, meniti jalan pulang pun tak semudah membalikkan telapak tangan.
Robi sudah terlelap menapaki waktu istirahat. Ketakutannya menguat menjadi beban berat bagiku. Mati dan mati. Aku bukan sang pengendali takdir, tetapi aku pastikan akan melindungi dia dari segala ancaman maut.
Mataku yang masih segar mengajak kaki menapaki setiap sudut rumah yang dibuat dengan kombinasi kayu dan bilik. Damar menari menghiburku dengan cahayanya yang sederhana. Membawaku bernostalgia ke masa kecil saat teknologi listrik belum menjamah desa.
Hah! Pulang kampung yang bukan merenda ceria, melainkan laksana menyambar petaka.
Aku menuju teras untuk melihat langit. Rasanya, aku rindu mengeluh pada kebisingan dan kemacaten. Aku rindu pada belaian mesra keringat yang menjadi penyuluh tidur.
Umi, Abi, Nana, bagaimana kabar kalian? Semoga kalian tidak larut penuh kekhawatiran memikirkanku. Rapalku dalam hati.
Hem!
Saat hendak membuka pintu, muncul bayangan menjalar ke hadapanku.
“Den Yana mau ke mana?” tanya Nyi Sudarsih.
Pertanyaan Nyi Sudarsih tak kutanggapi. Aku tetap melaksanakan niatku. Duduk di teras menikmati gulita sebab bintang maupun rembulan enggan menampakkan diri.
“Bibi tahu Aden pasti rindu keluarga. Aden ingin segera pulang, kan? Maaf, ya, Den. Bibi masih harus menahan Aden di sini,” tutur Nyi Sudarsih menerka isi kepalaku.
Terkaannya sangat tepat. Akan tetapi, pikiranku tidak sedang berpacu sepenuhnya ke arah sana. Untuk membuka borgol, tentu, aku harus menemukan kuncinya atau mencari benda yang bisa merusak kunciannya.
Aku menoleh kepada Nyi Sudarsih yang setia berdiri. “Apakah dia sosok yang sama, Bi? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi kepada dia?” tanyaku pragmatis. Aku sangat berharap Nyi Sudarsih tidak lagi mengatupkan bibir untuk bercerita. “Sesungguhnya, saya memiliki banyak pertanyaan. Tapi sosoknya yang paling mengganjal di pikiran saya saat ini,” sambungku.
Nyi Sudarsih menundukkan kepala. “Bibi tidak mengerti maksud pertanyaan Aden,” ucapnya.
“Bibi pura-pura tidak mengerti karena khawatir identitas Bibi pun ikut terungkap, kan?” satirku.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Nyi Sudarsih untuk menyahuti kalimatku. Lantas, aku gunakan sebuah pancingan untuk menarik kejujuran darinya.
“Dia hadir dalam rupa dan dua sikap yang berbeda, tapi panggilannya tetap satu. Sosoknya yang hancurlah yang asli, kan, Bi? Dia dendam kepada saya karena anaknya hilang saat bermain dengan saya. Dia pun dendam kepada semua warga karena menganggap tak ada yang peduli untuk mengungkap kematian istrinya. Dia kehilangan dua orang terkasihnya tanpa tahu musababnya,” paparku, menahan haru.
Aku bisa mengerti kesedihan dan derita Mang Sata. Hanya saja, aku kehilangan akal untuk melayangkan praduga yang mendorongya untuk memilih jalan sesat.
Pada awalnya, aku ragu saat ibunda Aisah mengurai kisah kelam Mang Sata. Namun, ketika Mang Sata mengamuk di gubuk Nyi Sudarsih, misteri tentang rupa Mang Sata seolah tersingkap nyata. Dia memiliki bagian tubuh tak lengkap dan tak bisa tumbuh kembali atau memperbaiki jaringan selnya. Batinku pun berkata bahwa hal tersebut merupakan efek dari ilmu kanuragan yang dia tekuni.
Ah, tapi itu baru sekadar hipotesis dariku.
“Setiap orang memiliki dua sisi kehidupan: sisi terang dan sisi gelap.” Akhirnya, Nyi Sudarsih bersedia membuka suara. “Cerita yang Den Yana dapatkan tentang Mang Sata, benar adanya. Dia terjerembab pada aliran sesat karena sebuah dendam. Mulanya dia bersekutu dengan para jin untuk mencari penyebab kematian anak dan istri. Tapi seiring berjalannya waktu, dia justru berpikir untuk menghabisi semua warga.”