Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #26

Bab 25: Malam yang Panjang

Atap berderik seakan hendak menyarap ke tanah. Teriakan hingga gerungan mengaum sangat kencang. Situasi pun semakin membekam langkah kaki.

“Bagaimana ini, Yan? Di belakang juga banyak yang mengepung kita,” ujar Robi kala mengintip keadaan melalui ganggang pintu.

Sejujurnya, aku tidak tahu harus bagaimana. Namun, aku tidak mungkin mengatakan hal tersebut kepada Robi.

Semenjak dia pernah terbaring tak sadarkan diri, tingkahnya menjadi seperti anak-anak. Dia kerap merengek, sulit diajak berdiskusi, dan begitu emosional.

Aku paham bahwa segala tutur dan gerak yang dia tunjukkan, mungkin perwujudan rasa takut yang sudah tak bisa dia tangani. Hanya saja, seperti ada bagian yang hilang dalam dirinya.

Ah, sudahlah! Bukan saatnya untuk menganalisis perubahan sikap Robi.

“Bi, gue harap lu tenang dulu. Kencangkan doa, lalu persiapkan kaki untuk menerobos kerumunan mereka,” perintahku kepada Robi, sembari turut mengamati keberadaan mereka.

Robi menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak, Yan. Gue takut. Gimana kalau nanti gue tertangkap oleh mereka? Gimana kalau gue disekap lagi dalam ruangan yang gelap? Gimana kalau gue mati? Cari cara lain aja, Yan. Tolong jangan korbanin gue, Yan!” ucapnya meringis hingga menyulut emosiku.

“Bi, nggak ada yang ngorbanin lu. Gue sangat peduli sama lu. Sebegitukah lu berpikir bahwa gue nggak mentingin kesalamatan lu?” bentakku.

Menghadapi situasi seperti ini, pikiranku sebenarnya tak tentu arah. Suara-suara di luar yang mencekam, Robi yang diliputi kecemasan, dan Nyi Sudarsih yang entah ke mana atau di mana, semuanya membuatku kelimpungan. Terlebih tenagaku pun belum begitu prima.

Robi menunduk dengan raut pucat dan tangan mengepal gemetar. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak menghantarkan kata.

Haruskah bertahan dan bersembunyi saja? Sementara, seluruh bangunan rumah bergoyang diiringi seruan mengudarakan namaku.

Baiklah! Ibarat berperang, lebih baik melawan terlebih dahulu daripada takluk tanpa upaya.

Aku genggam tangan Robi dengan kuat. Apa pun yang akan terjadi, dia adalah prioritasku.

“Jangan, Den!” cegah Nyi Sudarsih kala aku hendak menarik gagang pintu.

“Kenapa? Bibi ingin kami tetap di sini untuk menyambut kedatangan mereka?” tanyaku dengan nada marah.

Nyi Sudarsih tak menjawab pertanyaanku. Dia justru melintangkan balok kayu di tengah badan pintu.

“Apa maksud Bibi menahan kami? Apa jangan-jangan Bibi memang sengaja memancing saya ke rumah ini untuk dipersembahkan kepada mereka?” tudingku.

Sesungguhnya, aku tidak ingin menaruh curiga kepada Nyi Sudarsih. Akan tetapi, pernyataannya sangat berinversi dengan keadaan yang sedang berlaku. Tempat yang dia nyatakan paling aman—tak akan terendus dari cengkeram orang-orang yang menginginkanku—faktanya, tak mampu menampung waktu tidur dengan nyaman walau hanya semalam.

“Maaf, Den. Bibi …. Bibi juga tidak menduga bakal …. bakal seperti ini. Bibi tidak mungkin tega membuat Aden dan teman Aden celaka. Bibi benar-benar minta maaf, Den. Tapi Bibi mohon supaya tetap di sini. Percayalah sama Bibi, Den!” tutur Nyi Sudarsih seraya menjegal pergerakan kakiku.

Brukkkk!!! Bunyi pintu depan mencium lantai. Pandangan kami pun seketika menyasar ke arah yang sama.

“Berdiri di belakang Bibi, Den!” suruhnya.

Langkah lancang penuh ancaman terdengar menghampiri. Semilir bau bangkai mengikuti setiap hentakannya yang bergema dengan irama sumbang.

“Surawijaya, saya akan membawamu dalam keadaan hidup atau pun mati,” ujar Mang Sata melayangkan ancaman.

Terlambat untuk pergi. Atau memang sudah seharusnya mengerahkan seluruh energi untuk menghentikan misteri ini.

Mang Sata melemparkan capingnya dengan kuat. Hampir saja penutup kepala tersebut menebas wajah Robi.

Lihat selengkapnya