Dedaunan bersenandung riang. Sepoi angin membelai mesra, mengajak raga untuk beristirahat. Namun, aku tak bisa memejamkan mata. Kaki serasa mendayung di arus Segitiga Bermuda. Batin terus siaga, dan akal senantiasa waspada.
Sejatinya, aku harus tetap optimis. Menanamkan keyakinan bahwa badai ini pasti berlalu. Percaya pada kuasa Tuhan yang tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Hanya saja, aku sudah mulai lelah dan jengah. Gerbang pulang seakan semakin jauh dari jangkaun kaki. Pun, kalimat-kalimat ketakutan Robi menghantam nalarku hingga berserakan tak berbentuk.
“Tunggu di sini dulu, ya, Den! Bibi akan carikan makanan dan air minum untuk Aden dan teman Aden. Setelah itu, kita susuri hutan ini untuk mencari tempat persembunyian yang baru,” ucap Nyi Sudarsih, memenggal lamunanku.
Tak ada kata yang bisa aku ucapan. Apa pun yang akan Nyi Sudarsih lakukan, aku setuju saja. Ke mana pun dia akan membawaku, akan kuikuti tanpa banyak mengajukan pertanyaan.
“Sembunyi? Mau sembunyi di mana lagi, Bi? Mengapa tidak sekalian saja Bibi mengantarkan kami pulang? Apa Bibi memang sedang berpura-pura baik kepada kami, padahal Bibi punya niat terselubung dengan menjauhkan kami dari Citiis?” Tak disangka Robi merespon ucapan Nyi Sudarsih. Kata-katanya terlontar penuh sisipan curiga.
Nyi Sudarsih membungkukkan badan. “Mohon maaf, perjalanan kita masih panjang,” balasnya datar.
Aku sebenarnya tertarik untuk ikut menimpali. Pertanyaan Robi cukup mewakili spekulasiku. Namun, aku sedang ingin menikmati rindangnya pohon bambu yang berpadu membentuk atap. Menstabilkan emosi sembari memperhatikan lukisan alam.
Nyi Sudarsih meneruskan langkah untuk menunaikan ucapannya. Robi pun tampak merengut karena mungkin tak memperoleh jawaban yang dikehendaki.
“Yan, gue rasa lebih baik kita segera pergi dari sini. Kita tak perlu mengikuti dia lagi,” ungkap Robi selepas Nyi Sudarsih lenyap dari pandangan.
“Bi, kita di sini sebagai orang asing. Gue bukannya nggak pengen meniti langkah sendiri, tetapi gue nggak tahu ke arah mana kita harus berjalan,” kesahku.
Robi menarik tanganku. Dia memaksa aku berdiri menggerakkan kaki.
“Kita bisa mengikuti aliran sungai. Kita kumpulkan bambu-bambu untuk membuat rakit. Beres, kan?!” pungkas Robi.
Benar. Mengapa aku tak terpikirkan hal tersebut?! Ada banyak bambu kering tergeletak di sekitar kami. Tak perlu menebang. Hanya perlu mencari pengikat yang bisa didapat dari tanaman menjalar.
Aku dan Robi lantas bahu membahu menghimpun bambu secara berdampingan. Semangat mencuat, mengamini sepanjang aliran sungai pasti ada pemukiman. Mang Sata dan yang lainnya pun mungkin tak akan mendeteksi jalur melarikan diri tersebut.
“Percuma. Jarak dari sini menuju sungai sangatlah jauh. Sebelum tiba di sungai, bisa saja kalian tertangkap oleh mereka,” jelas Nyi Sudarsih yang begitu cepat kembali. Kemudian, dia menyodorkan setandan pisang raja untuk pemulih tenaga.
Aku tak langsung menyambut pemberian Nyi Sudarsih. Mataku menangkap ada yang janggal dari dia. Tangan kanannya menggenggam pisang, tetapi bayangannya mengayunkan cangkul.
“Awas, Bi!” teriakku, mengingatkan Nyi Sudarsih.
Benar saja. Mang Sata mampu mencapai tempat persinggahan kami.
“Cepat lari, Den! Lari ke arah Barat sebelum awan menutup cahaya,” seru Nyi Sudarsih sambil menahan serangan mendadak dari Mang Sata. Kedua tangannya mencengkeram kuat gagang cangkul Mang Sata.
Aku bingung. Bagaimana dengan nasib Nyi Sudarsih jika aku meninggalkannya, sedangkan Mang Sata terlihat mendendam kesumat kepadanya?
Aku juga tak mau menanggung hutang budi terhadap Nyi Sudarsih. Tetapi, mungkinkah aku bisa melawan Mang Sata?
Mang Sata menendang Nyi Sudarsih hingga terguling menubruk pohon bambu. Lalu, dia berjalan ke arahku sambil menadahkan hawa kematian.
“Orang tuamu pasti bersedih ketika mereka tahu bahwa kamu mati di desa ini. Ya, mereka patut berduka seperti yang dulu saya alami,” ucap Mang Sata dibubuhi laungan kencang ke angkasa.
Tidak. Aku tidak mau mengakhiri napas dengan cara seperti. Namun, ujung cangkul Mang Sata yang tajam sudah tepat melambung di atas badanku.
Bukkk!!! Robi melayangkan bambu, tepat, mengenai muka Mang Sata. Dia pun tertawa puas dengan intonasi mengejek.