Dunia ini memang dipenuhi hal-hal yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Aku tidak mengerti kausa yang bisa membawaku sampai di rumah Aisah dengan selamat, sedangkan hari-hari sebelumnya sangat sulit mencapai tempat ini. Di luar semua pertanyaan yang membebani pikiranku, jelas, ini sangat membahagiakan dan melegakan. Berhasil keluar dari kepungan kejadian-kejadian yang menyeramkan nan penuh keganjilan.
Aku tak peduli dengan barang-barangku yang tertinggal di negeri gaib bernama Kampung Citiis. Cukuplah pakaian yang menempel di badan menjadi pelengkap kepulangan. Harta bisa cari, tesis bisa ditulis ulang, tetapi keselamatan tak bisa diawang-awang. Sekarang, tinggal mempersiapkan mental saja untuk menampung nasihat dan mungkin amarah dari Abi dan Umi.
“Aisah, di mana Robi?” tanyaku karena tak terdengar Robi menyahuti panggilanku. Aku tak sabar ingin mengucapkan syukur secara berbarengan dengannya. Petualangan di Citiis mungkin akan menjadi kisah paling bersejarah dalam hidup kami.
“Em…. A Robi…. A Robi…. A Robi sedang istirahat di kamar, A. Dia…. dia baru saja istirahat. Mungkin kelelahan,” jawab Aisah. Tampak terselip keraguan di balik lidahnya.
Benarkah Robi sedang beristirahat? Ataukah Aisah sedang menipuku?
Aku lantas meminta Aisah menunjukkan kamar yang menjadi tempat Robi merebahkan badan. Namun, dia malah menyuruhku mengisi perut dan membersihkan badan.
“Kenapa saya tidak boleh melihat karib saya terlebih dahulu?” Kutatap Aisah dengan kecurigaan.
Aisah membuka sepertiga pintu kamar. Terlihat kaki Robi menjulur telentang. Saat aku mencoba memaksa masuk, Aisah melintang tangannya untuk menghalangiku.
“Orang zaman dulu kalau habis berpergian jauh, pasti akan cuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah. Benar, kan, A?” Aku mengamini pernyataan Aisah dengan anggukan kepala. “Jadi, lebih baik Aa ke dapur dulu ya,” dorongnya.
Aku turuti perintah Aisah. Makan secukupnya, kemudian beranjak menyucikan badan agar terbebas dari para pengikut tak kasat mata.
Kala serius mengalirkan air ke tubuh, aku mendengar suara keramaian memasuki rumah Aisah. Firasatku mengatakan ada hal tak menyenangkan menungguku. Ah, semoga ini benar-benar di Cibatu, bukan muslihat para makhluk biadab yang memburuku.
“Bagaimana, Neng? Apa Neng udah menemukan A Yana?” Terhantar suara ibu Aisah dipenuhi gelisah. “Temannya harus segera diurus, Neng. Kasihan jika kita membiarkan dia terlalu lama berada di sini, sedangkan kita juga nggak tahu tempat tinggalnya di Jakarta,” imbuhnya.
Kalimat yang diucapkan ibu Aisah menyatroni jiwaku penuh kesedihan. Akan tetapi, aku tak mau mengucapkan terkaanku.
Tidak. Aku tidak boleh berlebihan menerjemahkan makna pernyataan si Ibu.
“A Yana sudah di sini, Mah. Tapi Neng…. Neng nggak berani menyampaikannya,” ungkap Aisah.
Sendu biru mengharu seakan ada kelabu yang bertamu. Aku lekas keluar dari kamar mandi. Berlari untuk melihat langsung kondisi Robi.
Wajah Robi pucat pasi. Ketika aku mendekapnya, dia tidak memberikan respon apa pun. Sekujur tubuhnya dingin dan kaku membeku bagai gumpalan es. Seketika air mataku mengalir tak terkendali.
“Bangun, Bi! Ayo, bangun!” seruku berkali-kali.