Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #29

Bab 28: Suara Sumbang Itu

Tergambar jelas dan terngiang keras ketakutan Robi. Dia selalu mengatakan tak ingin mengakhiri hidupnya di sini. Dia kerap merengek agar aku membawanya pulang.

Dalam situasi tersebut, aku memberinya keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Nyatanya, aku telah gagal. Dia pergi tanpa akan pernah menyapaku lagi di dunia ini. Secara tidak langsung, aku menjadi seorang pembunuh. Pembunuh bagai teman terbaikku.

Kalau saja aku tidak keras kepala, Robi tak akan turut menjejakkan kakinya di Citiis. Segala fenomena suram nan mencekam ini pun tak akan terjadi.

Akhhh!!!

Aku sudah tidak tahu lagi cara untuk mengeluarkan air mata dan melaungkan umpatan pada kenyataan. Dalam benakku, hanya ada satu kalimat yang bersemayam, “Bisakah aku mengubah takdir?”

“Ayo naik ke mobil, A. Kita berangkat sekarang,” ujar Aisah. Dia meraih tanganku dengan lembut.

Hem, pulang. Aku belum mau beranjak dari tempat ini. Aku masih sangat pengecut untuk menghadapi ibu Robi.

Segala caci maki, berkenaan dengan suratan yang menimpa Robi, bisa aku terima dan tanggung menggunung di dalam jiwa. Akan tetapi, aku tak sanggup membayangkan suasana duka yang akan terpancar dari ibu dan keluarga besarnya.

“Tunggu dulu! Saya akan cari Robi. Saya yakin dia masih ada di sini,” responku seraya menerawang keberadaan Robi.

Jika yang bersamaku hingga tadi pagi adalah arwahnya, aku akan mencari dan menangkap dia. Akan kumasukkan dia ke raganya kembali.

“Terlepas dari apa pun yang kamu dan temanmu alami di Citiis, kematian adalah kuasa dan takdir dari Tuhan. Berhenti berpikir bahwa kamu yang menyebabkan semua ini,” ucap si Ibu dengan bijak. Lalu dia menahan tubuhku kuat-kuat. Dia seakan mengerti arah mata angin yang ingin aku tuju.

“Benar, A. Tenangkan diri dan lepaskan semua rasa bersalah Aa!” timpal Aisah.

Aku menghembuskan udara melalui hidung. Bagaimana aku bisa tenang? Apakah semuanya cukup dijelaskan dengan kata “takdir”?

Hamid, Rusman, dan Musa menghilang meregang nyawa karena keegoisanku. Aku pulang sendirian tanpa memaksa mereka untuk meninggalkan lokasi galian pembangunan jembatan. Aku pulang kampung untuk menebus dosaku di masa lalu terhadap mereka. Namun, kini, Robi justru menjadi korban selanjutnya dari kegilaanku.

Bisakah aku menukar atau memberikan sisa hidupku kepada Robi?

Kulihat Robi sudah berada di dalam mobil. Batinku tak henti berharap dia terbangun membalikkan situasi. Sungguh, aku tak mau menyebut raga Robi sebagai jenazah dan menyematkan atribut kata almarhum di depan namanya.

Bangun, Bi! Cepatlah bangun! Lirihku menelan nestapa.

“Semakin lama kamu mengulur waktu, maka semakin tidak baik untuk arwah temanmu. Pikirkan juga tentang orang tuamu yang pasti tak berhenti mencari keberadaanmu. Apakah kamu tidak kasihan kepada mereka semua?” papar si Ibu sambil membopong ayunan kakiku.

Aku merenung sesaat. Pasrah dan berserah.

Kepergian karibku bukan mimpi, bukan pula ilusi. Benar. Tak seharusnya aku menjegal perjalanannya menuju keabadian.

Hadapi dan jalani, meski hari (mungkin) akan muram membekam atma.

Lihat selengkapnya