Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #30

Bab 29: Mendatangi Lagi

Setiap detik yang bergulir menyasar hampa di sanubariku. Hidup tak lagi sama seperti dulu. Pikiran terpasung di dasar rasa bersalah.

Adakah mesin waktu itu nyata? Dapatkah takdir diperbaiki; mengubah satu kejadian untuk menghempaskan kedukaan? Jika ya, di mana dan bagaimana menggapainya?

Sejuta kali aku memahami takdir, tetapi tetap saja tak cukup untukku berhenti menghakimi diri sendiri. Bagai sebuah ironi, aku bernapas di udara yang lapang dalam suasana kelam.

Menerima kenyataan memang bisa ditasbihkan dalam perkara waktu. Lambat laut, semuanya akan beradaptasi dengan keadaan dan berbaur dengan kerelaan. Hanya saja, ada proses yang tak mudah untuk ditaklukan. Proses mendamaikan nurani dan nalar.

Kubuka jendela pagi. Surya menyengat menyapih hari. Bermurung durja laksana mengibaskan cambuk kepada diri sendiri. Aku tahu itu.

Usai melembabkan muka dan mengganti pakaian, aku berjalan cepat menuju garasi. Atmaku harus terisi dengan sesuatu yang positif. Mungkin mengunjungi kampus bisa mendatangkan sedikit senyuman.

“Kamu mau ke mana, Nak? Apakah kondisi kamu sudah membaik?” tanya Umi ketika aku memanaskan mesin mobil.

“Em…. Yana…. Yana mau ke kampus, Mi,” jawabku, sedu. Aku tak mampu menahan haru bila berhadapan pandang dengan Umi.

Dosaku terlalu banyak. Kebohonganku telah melucuti bagja.

“Barusan ibunya Robi menelepon Umi. Dia menanyakan kabarmu,” terang Umi dengan suara bervibrasi.

Aku menunduk, menyembunyikan kesedihanku. Respon yang ingin diucap pun terganjal di dalam otak.

Umi memelukku. Membaca resonansi pilu yang masih berkabung dalam jiwaku.

“Kepergian Robi sudah merupakan ketentuan Allah, Nak. Ibunya sudah mengikhlaskan, dan sama sekali tak menyalahkan kamu. Musibah bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja, Nak,” lirih Umi.

Malu. Aku merasa tidak pantas mendapatkan maaf. Bukan aku tak bersyukur, melainkan aku merasa sebagai orang paling khianat—yang paling beruntung—di muka bumi ini.

“Coba kalau Yana nurut sama Umi dan Abi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Maaf, Mi. Yana tak bermaksud membohongi Umi dan Abi,” ungkapku, terisak. Merengkuh ampun dari Umi atas ketidakdewasaanku. “Yana…. Yana…. pergi ke Citiis untuk….”

Belum selesai penjelasan kusampaikan kepada Umi, terdengar Nana berteriak dengan sangat kencang. Aku dan Umi lantas berlari untuk memeriksa kondisi Nana.

Namun, saat aku dan Umi bergantian memanggil Nana, dia tak menyahut sedikit pun. Di kamarnya, di ruang tengah, di dapur, bahkan di hampir semua sudut rumah, keberadaannya menjadi samar.

Di mana Nana? Apa yang menimpa dirinya? Mengapa ada rintihan ketakutan dalam teriakan?

Resah dan khawatir mengeluarkan cairan dari dalam tubuhku. Prasangka mencoba merayap ke kepala. Keganjilan membatin sebab Nana tiba-tiba tak bisa dijangkau secara kasat mata.

“Nana, apa yang terjadi sama kamu?” Terhantar suara Umi dari arah dapur.

Hah, dapur?

Mustahil. Aku berulang kali memeriksa tempat tersebut, dan kupastikan Nana tidak ada. Mungkinkah penglihatanku kabur? Ataukah ada sesuatu yang menutupi penglihatanku?

Lihat selengkapnya