Angkasa membayang tanpa lembayung. Sinar surut di ujung garis biru. Hari masih berputar di antara ketidakpastiaan.
Jengah, geram, dan kesal membabat pikiran. Sampai kapan aku harus disiksa oleh cerita mereka?
Terkadang seperti mimpi. Terkadang tampak hanya perasaan kecemasan yang berlebihan. Namun, hidup nyaris gila karena ditempa berbagai prahara di luar logika.
Apakah aku pergi saja dari sini? Bernapas di kota lain atau di belahan bumi yang tak akan terjamah oleh mereka.
Kuseruput secangkir teh untuk membasahi kontemplasi. Setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan matang. Melarikan diri dari masalah tak melulu dicap sebagai kekalahan, bukan?!
Tuk! Tuk! Tuk!
Langkah resah nan gundah menghampiri gendang telingaku. Terlihat Nana berjalan dengan wajah tak bergairah. Dia tidak mengucapkan salam. Merangsak maju seperti dibuntuti perilaku kikuk.
“Na, kamu kenapa? Tumben sekali kamu pulang dengan muka cemberut begini.” Kuikuti laju Nana untuk memperoleh keterangan atas sikapnya yang ganjil.
Sayangnya, Nana tak menggubris pertanyaanku. Dia justru mempercepat langkahnya memasuki kamar.
“Nana, jawab pertanyaan Abang. Apa yang terjadi sama kamu?” Aku menaikkan satu tingkat nada bicaraku.
Nana tetap bungkam. Bahkan, dia tak berbalik badan sedikit pun untuk melihatku.
“Di mana sopan santun kamu, Na? Abang lagi ngomong sama kamu. Bisa-bisanya kamu cuekin Abang,” tuturku, meradang.
Aku menjadi begitu sensitif. Mudah sekali terpancing amarah. Ya, aku menyadari hal tersebut. Kendati begitu, kata-kata tajam yang barusan keluar bagaikan meracau tanpa kontrol.
“Balik! Balik! Balik!” gerung Nana.
Balik? Membalikkan badan? Ataukah pulang?
Aku sentuh pundak Nana. “Apa maksudmu, Na? Ada apa sebenarnya dengan kamu?” tanyaku berdebar dan penuh rasa penasaran.
Nana memutar badannya perlahan. Napasnya mendesah bagai tengah mengunyah murka.
Kengerian pun menyerbak tatkala gurat pucat bersama mata yang melotot, Nana lemparkan kepadaku. Dia juga menjulurkan kedua tangannya secara horizontal seolah ingin mencekikku.
Aku raih tangannya Nana. Tetapi, dia begitu kuat. Aku malah terdorong hingga punggungku menghantam dinding.
“Hayu balik (ayo pulang). Cuma sia nu bisa nolongan aing (hanya kamu yang bisa membantu saya),” teriak Nana sembari terus berusaha menjangkau leherku.
“Siapa kamu? Cepat keluar dari tubuh adikku!” balasku dengan suara yang tak kalah lantang.
“Hehe…. Sia enggeus poho ka aing (kamu sudah lupa denganku)?” tawanya nyinyir.
Ya, tubuh Nana dirasuki oleh makhluk lain. Ini seperti sebuah teror nyata untukku. Namun, aku cukup sangsi jika pelakunya adalah Hamid, Rusman, atau Musa. Kata-kata yang terlontar melalui lidah adikku terasa mengandung makna lebih dari sekadar permintaan tolong.
Pertanyaannya, lantas siapa jika bukan trio teman masa kecilku? Mungkinkah Mang Sata?
Hah! Aku tak ingin berspekulasi, tetapi otakku bekerja tanpa perintah untuk melakukannya.
“Balik koari keneh (pulang sekarang juga).” Tangan Nana berhasil meraih leherku. Aku lengah sebab hanyut dalam kalut. Mengidentifikasi sosok astral jahanam yang menganggu kententeraman jiwa Nana.
“U…. Umi! A…. Abi!” Aku mengumandangkan seruan memohon pertolongan. Tenaga Nana begitu besar.
Pintu kamar menutup secara misterius. Posisiku pun semakin tersudut untuk bisa memberikan perlawanan. Hanya ada ruang untuk bertahan.
Mata Nana merah membara, menabur bala. Cekikannya laksana borgol yang sulit dilepaskan, meski energi sudah kukuras secara maksimal.