Sesuatu yang tampak sederhana terkadang begitu pelik nan rumit. Laksana memilih satu dari dua atau dua dari tiga (dan seterusnya), harus cermat karena setiap pilihan mengandung cerita yang sukar untuk diterka. Kemudian, ketika sudah menentukan jalan, penyesalan semestinya bisa diredam.
Sayangnya, penyesalan justru kerap melebar pada pengandaian serta hujatan. Terlebih ketika menjadi sang penyebab atas sebuah tragedi.
Ah, aku muak. Mereka terus menerorku dalam berbagai rupa dan enigma.
Lantas, mengapa aku tidak pergi saja ke belahan dunia yang lain? Meniti kehidupan baru dengan nuansa yang lebih logis. Membentangkan jarak dengan mereka agar tercipta dimensiku yang tak mampu dirasuki.
Ya, itu terdengar melegakan bagi akal, memberikan harapan kedamaian bagi sanubari. Namun, aku merasa mereka mulai menjadikan Nana sebagai sandera.
Mereka menyerupai Nana untuk ke sekian kali. Mereka tak berhenti mengacaukan nalarku dan memporak-porandakan kewarasanku. Aku dipaksa untuk kembali ke Citiis atau “menikmati” agresivitas mereka yang mungkin akan berkibar di hadapan Nana, Umi, maupun Abi. Jadi, melarikan diri tampak mengabur dalam balutan ilusi.
Baiklah. Mungkin sudah waktunya aku meruntut kisah mistis ini kepada Umi dan Abi. Kisah yang berawal dari perjalanan menuju Citiis hingga peristiwa seram kemarin di kamar Nana. Aku tak bisa menyembunyikan semua ini, sementara mereka tak berhenti mengkhawatirkanku.
Aku olah napas sejenak. Akan butuh banyak narasi dan diksi untuk menjelaskan hingga mereka mengerti. Maka dari itu, penting bagiku supaya terlihat tenang dalam menjabarkan rentetan kejadian demi kejadian.
Huh!
Kakiku sudah tegak menopang badan di depan kamar Umi dan Abi. Aku paham ini sudah menuju larut malam. Akan tetapi, pikiranku tak mau berkompromi menunggu hari esok.
“Bagaimana Umi bisa tenang, Bi? Yana semakin hari semakin aneh. Semuanya terjadi semenjak dia pulang dari Citiis. Kita sudah kecolongan, Bi,” suara perih Umi mengurungkan niatku untuk mengetuk pintu.
Aku tebalkan pendengaran demi menangkap percakapan antara Umi dan Abi. Aku ingin mendengar persepsi mereka terlebih dahulu tentang diriku.
“Abi sebenarnya tak ingin mengungkapkan praduga ini, Mi. Tapi, Abi sangat khawatir kalau Yana menderita skizofernia,” tukas Abi.
Tidak. Aku tidak mengalami gangguan mental seperti yang Abi tuduhkan. Semuanya nyata dan amat terasa, walau begitu nyeri menyayat atma.
“Maksud Abi semua yang Yana alami itu hanyalah halunisasinya saja?” Terdengar nada Umi meninggi. “Bi, ingatan Yana tentang tiga temannya, yang hilang di galian jembatan, mungkin menguat lagi. Namun, itu terjadi bukan tanpa sebab. Umi yakin ada yang mendatanginya dan mengajaknya untuk ke Citiis.”
“Mi....” Abi melunakkan lidahnya.
“Sebelum Emak tiada, beliau selalu berpesan agar Yana tak menyentuh lagi Citiis. Yana sudah diincar banyak orang sejak kecil. Citiis memang damai, tapi ramai para pengabdi iblis. Bukankah hal itu sering Umi ceritakan kepada Abi?” jelas Umi.
Sedari awal aku curiga bahwa Umi menyimpan banyak rahasia dariku—tentangku dan Citiis. Hanya saja, Umi seperti enggan berbagi kata dalam cerita. Menutup rapat kengerian yang membuntutiku.
Aku tekuk jari-jari tangan kanan. Ini mungkin saat yang tepat untuk menyamakan persepsi atas berbagai fenomena yang kulalui dengan nubuat Umi dan sangkaan Abi.
Tuk!
Satu ketukan telah melayang di daun pintu. Namun, aku tersentak oleh gebukan yang begitu kencang di depan rumah. Ia menutupi percakapan Umi dan Abi yang tengah kukuping.
Aku pun menunda sejenak hasrat untuk berbincang dengan Umi dan Abi. Suara dari luar semakin tak sabar ingin ditemui. Sangat menggoda kaki dan mata untuk memeriksa.