Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #33

Bab 32: Bayangan yang Memburu

Ada dorongan besar yang melajukan kakiku untuk lekas menengok kondisi Aisah. Keteguhan hati menguat seiring kekhawatiran yang semakin membesar. Kali ini, rasanya aku yakin akan baik-baik saja. Bahkan, seperti ada lentera besar bertengger menerangi langkahku.

Aku hanya bisa mengucapkan permohonan maaf kepada Umi dan Abi di dalam hati. Bukan aku tidak belajar dari kejadian sebelumnya, tetapi aku terpaksa pergi tanpa berpamitan. Semua kulakukan untuk membalas budi Aisah dan ibunya. Lagi pula, perjalananku kali ini hanya sampai Cibatu.

Langit masih pekat menyalak malam ketika aku menapak di Terminal Kalideres. Rintik gerimis berdansa dengan hembusan angin. Semoga ini bukanlah pertanda bahwa alam pun tak merestui keputusanku.

Sebelum menaiki bus menuju Serang, aku ikatkan doa di kepala sekencang mungkin. Memohon kepada Tuhan agar senantiasa melindungi dan memayungi kesadaranku. Pengalaman salah menaiki elf, tak boleh terulang kembali.

Bagaikan melompati waktu, tak terasa aku sudah nyaris tiba di tujuan. Matahari terasa menyengat bersama lantangnya sang kondektur meneriaki supaya penumpang yang hendak turun mempersiapkan diri.

Ya, ini benar-benar ajaib. Kapan turun dari bus, bagaimana berpindah armada angkutan umum, aku lupa mengenai hal tersebut.

Mungkinkah aku terbawa ke dimensi lain seperti dulu?

“Pak, ini sudah mau sampai di Cibatu?” tanyaku agak berteriak kepada sang kondektur.

Muhun (benar), A. Ini sudah sampai di Cibatu,” jawabnya. “Ayo, ayo.... Cibatu.... Cibatu. Yang mau ke Citiis juga turunnya di sini. Kiri, Pak Sopir!” sambungnya meminta elf menepi.

Tiga penumpang pun turun, termasuk aku. Namun, mereka langsung disambut oleh seorang bapak menggunakan sepeda motor. Kemudian, mereka menembus jalan ke arah kampung halaman yang tak ingin lagi kuakui.

Satu tarikan napas aku hela sebelum berjalan sekira 100 meter ke Utara. Seharusnya aku turun persis di seberang rumah Aisah saja.

Ah, sudahlah! Anggap saja berolahraga untuk merenggangkan otot.

Selang beberapa langkah, aku menangkap ada hal yang berbeda. Seingatku, tak ada bangunan apa pun di seberang rumah Aisah. Hanya hutan belantara yang digagahi pohon-pohon pinus. Tetapi dalam visual mataku sekarang, ada sekolah madrasah yang ramai dengan suara riang gembira para murid.

Apakah aku salah tempat turun?

Aku mempercepat ayunan kakiku. Ini harus segera divalidasi. Itu tak tampak seperti bangunan baru.

Hah?

Aku sangat yakin letak rumah Aisah seharusnya berada di tepi jalan – paling menjorok dibanding rumah lainnya. Bercat putih, berpagar bambu, dan dikelilingi banyak kembang sepatu.

Kenyataannya, yang aku yakini sebagai rumah Aisah adalah area pemakaman. Panik pun melanda seketika. Aku takut terperangkap lagi di alam yang berbeda.

Tidak. Aku berada di dunia nyata. Mungkin memang aku hanya salah persinggahan saja. Cibatu kan luas. Pun, penampakan suatu tempat bisa saja sama.

Lebih baik aku hampiri para penjual jajanan di depan madrasah. Aku bisa bertanya kepada mereka tentang lokasi ini.

Sebentar!

Adakah kekeliruan dalam benakku?

Saat aku berbalik arah, bangunan madrasah tak terlihat lagi dalam jangkauan mataku. Menghilang dalam sekejap pandang. Sayup-sayup, yang semula terdengar menggema, melara berganti sunyi.

“Aisah!!!” laungku spontan sebab terbakar ketakutan.

“A Yana, saya di sini. Tolong, A!” Aisah menyahutiku.

Aku memutar mata, mencari keberadaan Aisah. Namun, semua yang ada di sekelilingku seketika berubah lagi. Jalan raya menyempit. Pemakaman lenyap berganti sebuah rumah. Rumah yang membuat bulu kudukku merinding getir.

Lihat selengkapnya