Sikap Umi menggelembungkan sejuta tanya dalam benakku. Tiba-tiba saja ingin membawaku ke Citiis. Larangan dan keinginan yang disemai pun berkecamuk meruahkan keganjilan. Adakah Umi melihat atau merasakan yang aku alami di rumah ini – sebelum atau sesudah aku mengunjungi tanah kelahiran?
Sayangnya, ia terus bungkam. Masih enggan menjabarkan misteri yang menyelimutiku.
Aku mencoba mengerti pola pikir Umi. Mungkin ia tak ingin menambahkan beban bagi otakku mengasah kengerian. Namun, aku perlu setidaknya petunjuk untuk menyudahi pergulatan nalar ini.
Fajar ke siang, gelap ke terang, aku mencari jeda yang pas untuk menuntut pengakuan dan klarifikasi dari Umi. Sebelum malam menjelang, pokoknya, aku harus sudah mendapatkan jawaban. Aku tak mau lagi bermimpi dengan alur dan adegan yang sama.
Aku hampiri Umi yang tengah mempersiapkan sajian makan siang di dapur. Tanpa pendahuluan, aku langsung menodongkan keresahan.
“Mi, Yana mohon, tolong jelaskan maksud perkataan Umi tadi pagi!” pintaku, membujuk dengan suara sendu.
“Astagfirullah, Nak! Kamu mengagetkan Umi saja,” responnya sembari melepaskan pisau yang digenggam.
Aku mempertegas riasan lelah di muka. “Mi, Yana dengar semua obrolan Umi dan Abi tadi pagi. Yana juga tahu Umi menyimpan banyak cerita tentang Citiis. Sampai kapan Umi akan menutup-nutupinya dari Yana?” satirku.
Umi menghela napas lalu berpindah posisi. Garis bibir dilebarkan sedikit seakan memintaku untuk tidak kecewa.
“Baiklah. Jika Umi belum bersedia cerita, Yana mohon izin untuk ke Cibatu. Yana ingin menengok kondisi teman Yana. Juga, Yana sendiri yang ingin memulangkan sosok yang mengikuti Yana,” tuturku, kecewa.
Kata-kata yang aku lontarkan merupakan pancingan terakhir sekaligus penyampaian pamit sungguh-sungguh. Meskipun aku sempat dilanda ketakutan atas mimpi terbunuhnya Aisah oleh Mang Sata, tetapi rasa penasaranku bertahta lebih besar.
Tekadku sudah bulat nan menguat. Aku harus memastikan kondisi Aisah secepatnya. Lebih cepat aku tahu, maka akan lebih lega pikiranku.
“Tidak, Nak!” bentak Umi setelah terdiam sesaat.
“Lantas, apa yang Umi khawatirkan tentang Yana?” Aku nyaris menimpali volume vokal Umi. Maaf, aku hanyut dalam emosi.
Kuperhatikan mata Umi memerah berkaca-kaca. Wajahnya tampak menahan sesak untuk berbicara.
“Tiga hari sebelum kamu pulang, Umi dan Abi ke Citiis untuk mencarimu. Semula Umi tak yakin kamu membohongi Umi. Tapi, firasat Umi mengatakan kamu berusaha mencari kebenaran,” urai Umi, berderai air mata.
“Umi dan Abi mencari Yana di Citiis?” tanyaku, memastikan.
Gumpalan misteri membesar kembali. Di mana keberadaanku saat Umi dan Abi mencariku? Adakah perselisihan posisi yang lebar di antara kami?
Entah mengapa, aku merasa ada yang janggal. Sangat-sangat janggal.