Mereka sudah semakin liar dan beringas. Teror demi teror terus menghujam, mengancam kedamaian di dalam rumahku. Dinding-dinding yang dulu menjadi pelindung kini bagai gema sunyi yang memantulkan bisik-bisik kegelisahan. Di sisi lain, langkahku terpenjara. Aku tak bisa kembali ke Citiis.
Bukan. Bukan aku menyerah untuk menemukan keberadaan Hamid, Rusman, dan Musa. Bukan pula aku tidak tergoda memastikan kondisi Aisah—setelah ia menemuiku di malam yang gelap dan di mimpi yang lekat. Aku hanya harus menemukan cara untuk mendapatkan izin dari Abi dan Umi, meski Umi sudah setengah memberiku restu.
Ada banyak yang belum terungkap, selain di mana Hamid dan yang lainnya bersemayam. Siapa Aisah dan ibunya? Siapa Nyi Sudarsih? Apa yang terjadi dengan Mang Sata? Apa yang membelit Citiis? Dan…. apa yang sebenarnya kualami selama berada di sana?
Kembali. Panggilan itu belum selesai. Tak ada satu pun misteri yang benar-benar terungkap. Semua hanya serpihan, potongan-potongan yang belum menyatu. Apa pun yang nanti akan terjadi denganku, aku tidak peduli.