Adikku beruntung karena nggak dipilih. Kalau dia yang dipilih, tentu bukan aku yang harus menjalani ini semua. Rasanya mengerikan, berjalan menyusuri hutan sendirian untuk mencari warisan. Mungkin kalian bertanya-tanya, warisan apa yang ada di hutan? Tanah? Rumah pohon? Gigi emasnya macan? Atau malah anting-anting monyet?
Jangan salah, gengs. Warisan yang kumaksud ini bukan warisan biasa. Bentuknya nggak nyata, tetapi ada. Apa? Kentut? Aduh, bukan gengs. Masa iya nyari kentut di hutan? Lagian mana ada nenek moyang yang mewariskan kentut pada keturunannya? Kalau ajian yang bisa mengubah kentut jadi emas sih, boleh aja. Asalkan yang berubah kandungannya, bukan cuma warnanya. Kalau warnanya aja yang kayak emas, nggak perlu ajian, ngeden doang juga bisa.
Nah, kembali ke warisan tadi. Yang kumaksud warisan adalah ilmu perdukunan. Yup! Ayahku seorang dukun terkemuka di desa. Kata Ibu, dia mewarisi jabatan tersebut dari ayahnya, dan ayahnya ayah mewarisinya dari ayahnya ayahnya ayah, dan ayahnya ayahnya ayah mewarisianya dari .... Ah, sudahlah. Terlalu panjang. Pokoknya, ilmu ini tuh diturunkan secara blood by blood. Nggak sembarang orang bisa mewarisinya.
Jika dalam satu keluarga memiliki lebih dari satu anak, maka akan dilakukan pemilihan. Masing-masing calon menunjukkan bakatnya. Malam harinya satu persatu kandidat berlenggak-lenggok mengenakan bikini sambil dadah-dadah manja di depan juri. Eh, tunggu-tunggu, itu ajang sebelah.
Dalam keluarga dukunku, aku dan adikku dipilih oleh Ibu dengan telunjuk, sembari bernyanyi cap cip cup kembang kuncup. Normalnya telunjuk Ibu bergantian menunjuk aku dan adikku. Namun dalam kasusku, telunjuknya mengarah padaku terus. Ketika kuprotes, katanya telunjuknya dirasuki hantu besi mix hantu batu. Jadi, nggak bisa ditekuk dan dipindah. Emang iya, kalau makan besi campur batu bisa bikin telunjuk stroke? Fix, ibuku aneh.
Adikku pura-pura nangis ketika nggak dipilih. Mulutnya bersuara hiks-hiks, tapi bibirnya tersenyum lebar sekali, sampai-sampai kukira Joker lagi ngadain fan meeting di rumahku. Dia mengusap matanya yang nggak basah dan bilang, "Aku ikhlas ilmu itu diturunkan padamu, Kakanda."
Sok asik!
Kemudian, dia meminta uang pada ibuku dengan alasan untuk merayakan kemenanganku. Dia hendak mentraktir teman-temannya mie ayam, tanpa aku. Ya, tanpa aku!
Saat itu, aku merasa seperti sudah jatuh, tertimpa tangga, tertabrak truk, terlempar ke luar angkasa, ketemu alien, lalu dijadikan mobil-mobilannya alien. Maksudku, hei, itu kan untuk merayakan terpilihnya aku sebagai juara Indonesia Mencari Bakat kategori Pewaris Ilmu Dukun, tetapi kenapa aku nggak diajak? Ibarat upacara bendera tanpa bendera gitu, loh! Fix, adikku aneh.
Ayahku juga aneh. Dia dukun dan seharusnya punya ilmu kebal. Namun, saat ini dia terbaring di rumah sakit karena DBD. Rupanya, gigitan nyamuk lebih tajam ketimbang parang. Saran saja, kalau tawuran jangan bawa parang. Bawalah nyamuk.
Gara-gara Bapak sakit, Ibu mengadakan kontes pemilihan pewaris ilmu dukun. Dia merasa Bapak sudah nggak bisa meneruskan tahta lagi, sementara negara api mulai menyerang. Dia merasa perlu mencari avatar baru. Dan sialnya, akulah avatar itu.
Menjadi avatar—maksudku, menjadi dukun itu nggak mudah. Aku harus mencari ilmu-ilmu, seperti ilmu kebal, santet, pelet, guna-guna, dan lain sebagainya. Kalau dirinci bisa melebihi jumlah mata kuliah kedokteran.