Mereka yang Dipanggil Monster

IyoniAe
Chapter #1

Prolog

Hari belumlah malam tapi suasana mencekam menggelayuti kota Solo. Bau teror masih menguar di udara. Matahari seolah membakar aspal-aspal yang ternoda. Tak ada warga yang menyusuri jalan-jalan besar. Mereka bersembunyi di liang-liang yang terkunci. Mereka takut monster-monster dalam bentuk manusia itu kembali, memporak-porandakan semua yang tersisa. Padahal, sudah tak ada lagi yang tersisa dari kota itu. Semua musnah dalam hitungan hari, bahkan jam. Hanya manusia-manusia yang dipaksa keluar oleh sesuatu yang bernama tugas dan kemanusiaan-lah yang berani mengais puing-puing, mencari saksi-saksi bisu dari tragedi yang menimpa kota itu.

Koyak adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kota itu. Toko-toko, baik kecil maupun besar memuntahkan isinya yang cacat ke luar, ke tepi-tepi jalan, bercampur dengan sampah dan jejak kerusuhan. Jendela-jendela pecah, pintu-pintu menjeblak rusak, besi-besi bengkok, plang-plang miring tak keruan. Di suatu tempat bus-bus terguling dan hangus. Yang tersisa hanya kerangkanya. Ban-ban mencair di tengah jalan. Di tempat lain beberapa pusat perbelanjaan gosong, fasilitas-fasilitas umum hancur, rumah seorang pejabat menjadi abu. Di pusat kota tampak asap masih membumbung dari sebuah bangunan yang cukup besar. Walau begitu, asap itu tidak sepekat dan setebal dua hari yang lalu. Hanya serupa asap rokok yang diembuskan pengisapnya saat bersantai, tipis dan tak berbahaya.

Sebuah mesin mobil menderu memecah keheningan, menelusuri jalanan yang lenggang, memutari kerangka mobil yang teronggok di tengah jalan. Roda-roda pada mesin itu berputar, menginjak tulisan “Turunkan Harto” yang ditorehkan besar-besar di aspal, lalu berbelok pada tikungan yang mengarah ke jalan besar lain hingga berhenti di sebuah perempatan, di depan bangunan yang masih berasap tadi.

Dua orang lelaki turun dari mobil. Mereka membawa alat yang dapat mengabadikan gambar. Dengan langkah tergesa, mereka menghampiri bangunan yang masih berasap itu, menyorotkan kamera supaya menangkap apa pun yang keluar dari sana. Tak lama, beberapa relawan keluar dari pintu roling door yang menjeblak bengkok. Mereka menenteng sebuah kantung besar, meletakkannya dengan hati-hati di dekat pintu bersama dua kantung lain yang serupa.

Para relawan itu melirik dua orang yang tengah menyorot mereka sekilas, lalu kembali ke dalam. Salah satunya dicegat.

“Bagiamana keadaan korban di dalam? Apa ada yang selamat?” tanya salah seorang lelaki yang mengalungkan kamera ke lehernya. Ia juga mengalungkan kartu identitas yang menunjukkan nama serta profesinya: Urip Sucipto, wartawan.

Sang relawan mengernyit. Ia bertanya dalam hati, bagaimana para wartawan ini sampai tahu ada korban di sini? Padahal, ia baru mengabarkan temuan itu kepada sang ketua lima menit yang lalu. Ia juga heran mereka mendatangi tempat yang tepat. Padahal, banyak relawan yang berpencar ke seluruh kota untuk membersihkan puing-puing. Meski begitu, ia menjawab dengan jujur, “Kalau sampeyan bukan orang yang kuat mental, sebaiknya ndak usah masuk. Saya sih ragu ada korban yang mampu bertahan. Mereka terjebak kurang lebih dua hari.” Setelah berbicara seperti itu, si relawan kembali masuk ke gedung.

Urip menoleh ke arah kawannya sebentar. Tatapannya seolah bertanya. Ia ragu untuk meneruskan. Bukannya apa-apa. Ia bukan termasuk tipe orang yang lemah mental. Hanya saja, kalau dihadapkan dengan sebuah kematian, ia menjadi emosional. Apalagi jika kematian itu bukan disebabkan oleh faktor alami. Ia jadi membayangkan penderitaan yang dialami si mayat sebelum meninggal. Rasanya sungguh menakutkan.

“Gas sajalah!” sahut temannya meringis.

Urip menimbang-nimbang keputusan. Matanya menerawang, memandang ke seberang jalan. Di sana ia melihat sekumpulan relawan lain memeriksa sebuah ruko. Banyak ruko lain yang juga hangus di kota itu. Dari bisik-bisik yang didengarnya, belum ada laporan yang menyebut ada mayat terjebak di ruko-ruko tersebut.

Dengan bibir mengerucut, Urip menoleh ke belakang, mengamati plaza—bangunan besar tempat mayat ditemukan tadi. Dalam hati ia membandingkan kedua bangunan sebelum memutuskan tempat mana yang akan dipilihnya untuk diliput. Ia memperhatikan risikonya dengan serius. Jika memilih plaza, ia bakal mendapat atensi lebih besar dari pemimpin redaksi. Namun, ia pasti juga akan trauma saat memperhatikan mayat-mayat hangus di sana. Membayangkan rupa mayat-mayat itu saja membuatnya merinding.

Jika memilih meliput ruko, mungkin pemimpin redaksi akan mengesampingkan hasil liputannya. Tetapi, hidupnya ke depan lebih nyaman. Ia tak bakal dihantui mayat-mayat itu.

 “Gas ....” Temannya tadi menyemangati. Dia bahkan mendorong bahu Urip supaya masuk ke plaza.

“Gas, gas, gundulmu!” Lelaki itu menggerutu. “Kamu aja yang masuk!” Ia lantas melangkah ke seberang jalan. “Aku liput yang sebelah sana aja.”

Urip sempat mendapat informasi bahwa sebelum kerusuhan, para pedagang dan pemilik toko diberitahu akan ada demo besar-besaran di sana. Jadi, mereka dianjurkan untuk tidak membuka toko. Maka dari itu, ia yakin tak akan menemukan apa-apa di ruko itu. Meski begitu, ia merasa tak masalah seandainya tak menemukan hal menarik di sana. Yang penting, ia tak berurusan dengan mayat. Biarlah kawannya saja yang berurusan dengan mayat-mayat itu. Urip tak keberatan liputannya tak menjadi berita utama.

Urip mendekati ruko sambil menjepretkan kamera beberapa kali ke sekitar. Selain ruko tadi, ruko di sebelahnya pun ikut terbakar. Walau begitu, kerusakannya tidak separah ruko yang ditujunya.

Lelaki itu berhenti dua meter di depan ruko. Ia mengarahkan kamera ke dalam ruko yang remang-remang, menekan tombol satu kali lalu kembali mendekat. Entah kelelahan atau tidak peduli, para relawan yang membersihkan puing-puing tak ada yang menghentikan aksinya.

Kakinya menginjak pecahan kaca yang tersebar di trotoar. Ia beruntung karena temannya tadi berkeras menyuruhnya memakai sepatu sebagai alas kaki. Kalau tidak, ia tak dapat melangkah lebih jauh ke dalam. Akibatnya, ia bakal gagal mendapat detail dalam liputannya nanti. Padahal pemimpin redaksi tempatnya bekerja menginginkan sebuah liputan yang detail. Alasan itu juga yang membuatnya mundur dari meliput mayat korban kebakaran. Ia tak mau melihat bagaimana detail mayat-mayat itu ditemukan.

Bau hangus langsung menyergap hidung saat Urip mengintip. Ia berhenti sejenak di mulut ruko, mengambil sapu tangan untuk digunakan sebagai penutup hidung. Ia mengikat dua ujung sapu tangan di belakang kepala. Setelah selesai, matanya menelusuri kerusakan dengan teliti.

Keadaan di dalam ternyata lebih parah dari yang diduganya. Tak ada pintu yang menghalanginya masuk, tetapi ada bekas tempat folding gate terpasang. Di belakangnya terdapat potongan alumunium yang melintangi jalan, menjulur sampai setengah lebar pintu. Alumunium itu sudah tidak utuh. Urip mencoba menyingkirkan benda itu, tetapi tak bisa. Benda tersebut tertaut pada engsel yang menempel di dinding. Ia berasumsi bahwa benda itu dulunya merupakan rangka pintu kaca ruko.

Lihat selengkapnya