Sragen, 14 Mei 1998
05.00
Jantung Mira berdegup kencang ketika tangannya menyibak tirai yang menjadi pintu kamarnya. Ia menelan ludah dengan susah payah. Matanya melirik awas saat mengintip ruang depan. Hari belum sepenuhnya terang tetapi tetap saja, gadis yang sebentar lagi lulus SMP itu takut sang ayah memergokinya. Dalam keremangan, ia melihat kursi rotan di ruang depan kosong. Biasanya, sebelum pergi ke sawah, ayahnya minum kopi di kursi itu, sembari mengasah arit, atau cangkul. Ia beruntung kali ini.
Mira melangkah pelan, melewati pintu kamarnya. Ia tak khawatir langkahnya bakal terdengar. Sebab, lantai di rumahnya masih berupa tanah. Jadi, walau menggunakan sepatu, solnya tak bakal menimbulkan suara keras, kecuali jika Mira berlari. Meski begitu, tetap saja ia harus hati-hati.
Mata gadis itu melirik ke sebuah pintu kamar lain. Ia penasaran, apa ayahnya masih di kamar? Kalau ya Mira mesti waspada. Ayahnya bisa saja keluar saat ia mengendap-endap seperti maling. Namun, setelah sampai di balik pintu rumah, ayahnya tak tampak.
Merasa aman, Mira menghela napas lega. Dengan gerak sepelan mungkin, ia membuka pintu rumah. Derit benda tersebut memaksanya berhenti. Ia melirik ke kamar ayahnya lagi, menunggu. Lima detik kemudian, ia tak mendapati siapa pun ke luar dari sana. Ia melanjutkan usahanya.
Begitu pintu berhasil dibuka, Mira mencengkeram tali pada tas ransel yang digendongnya erat-erat. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia membulatkan tekad untuk melanjutkan usahanya pergi dari rumah diam-diam.
“Mir!” panggil ibunya.
Gadis itu membeku. Ia berbalik, mencari sang ibu. Namun ia tak menemukanya. Ia yakin ibunya tak melihatnya sekarang. Ibunya pasti berteriak dari dapur. Setiap pagi, ibunya membangunkan Mira dengan berteriak memanggilnya.
“Mir, sudah jam berapa ini? Apa kamu ndak sekolah?” seru ibunya lagi.
Mira memang mengenakan sepatu, menggendong tas yang biasanya untuk sekolah, tetapi ia tidak ingin sekolah. Ia ingin pergi ke kota. Tanpa menjawab ibunya, Mira berlari, melewati halaman rumahnya yang luas. Halaman itu biasanya untuk menjemur gabah. Jika tidak memiliki agenda kabur, Mira-lah yang bertugas menggelar terpal di sana, menumpahkan berkarung-karung gabah setelah dipanen di atasnya. Baru setelah itu ia mandi, sarapan, dan berangkat sekolah.
“Mira!” Ibunya memanggil lagi. “Mau ke mana kamu?”
Gadis itu menoleh. Ia melihat ibunya keluar dari pintu dapur. Dinding rumah Mira terbuat dari anyaman bambu. Jadi, ibunya pasti melihatnya saat mulai berlari tadi.
“Mir! Berhenti! Kalau bapakmu tahu, kamu bisa dihajar!”
Ancaman sang ibu malah memotivasi Mira untuk kabur. Ia ingin ikut teman-temannya ke kota, berjuang di sana.
“Pak!” Ibunya kini berteriak histeris. “Pak, anakmu kabur, Pak!”
Jantung Mira meloncat ketika ayahnya dipanggil. Mendadak, lututnya gemetar. Langkahnya menjadi goyah dan ia hampir terjatuh. Ia takut setengah mati kepada sang ayah.
Ayah Mira merupakan orang yang keras. Ia ingin mendidik anaknya separti ayahnya dulu mendidiknya. Tak jarang, kekerasan menjadi pilihan saat mendisiplinkan Mira. Jadi, kalau sampai sang ayah menangkapnya, gadis itu pasti babak belur. Mira tak mau babak belur. Ia harus segera kabur. Ia tak bisa mundur lagi.
Mira berlari menuju jalan desa yang penuh bebatuan. Ia tak berharap jalan desa itu mulus seperti di kota. Tidak tergelincir di sana saja sudah membuatnya sangat bersyukur. Sebab, setiap pagi, jalan itu selalu licin. Padahal hujan tidak turun setiap malam. Jika sampai terjatuh saat melewati jalan itu, dengkulnya pasti hancur. Mira butuh dengkulnya tetap utuh agar bisa berlari.
“Bocah gendeng!”
Mendadak, sang ayah keluar dari area persawahan, mencegat laju Mira dengan mengacungkan arit. Matanya memelotot marah.