Solo, 14 Mei 1998
07.00
Mira tak berhenti melongo saat bus yang ditumpanginya memasuki kota Solo. Gerbang melengkung yang bertulis Selamat Datang membuatnya menganga. Ia tahu masih banyak kota yang lebih besar ketimbang Solo. Namun bagi Mira, kota tersebut jelas lebih besar dibanding kota asalnya. Dari jendela bus yang kotor, ia dapat melihat orang-orang berkerumun di depan mulut gang-gang. Pakaian mereka hampir seragam: atasan putih dan bawahan abu-abu atau biru muda. Mereka tampak saling berbisik, seakan sedang merencanakan sesuatu. Mira tak mengerti, apakah memang orang-orang kota bertindak seperti itu setiap pagi?
Gadis itu mengernyit. Ia mengamati isi bus. Ada beberapa penumpang lain yang mengenakan setelan serupa. Kebanyakan adalah anak muda. Saat ingin bertanya, mereka malah berdiri, meminta sopir berhenti lalu turun.
Mira melihat seorang gadis yang sebaya dengan kakaknya membawa sebuah poster. Matanya memicing, mencoba membaca tulisan dalam poster. Namun, belum selesai membaca semua tulisan, bus kembali melaju. Ia hanya sempat menangkap kata sembako dan krisis.
Melihat tulisan itu membuat Mira ingat alasannya ngotot pergi ke kota. Ia lalu membuka tas ransel yang didekapnya, mengeluarkan sepucuk surat dari sang kakak yang diterimanya minggu lalu.
Mira tersayang, terima kasih sudah mengirimiku surat. Aku juga merindukanmu. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku berjanji begitu punya waktu luang, aku akan pulang. Aku senang Bapak dan Ibu baik-baik saja. Kota tidak selalu mengasyikkan. Kadang, aku kesepian di sini. Tetapi, aku memiliki teman-teman yang mampu membantuku mengatasi rasa kesepian itu.
Perihal keinginan yang kau utarakan dalam suratmu, sungguh, aku benar-benar kecewa kau memutuskan berhenti sekolah. Kalau alasanmu berhenti karena kasihan kepada Bapak setelah gagal panen, bersama surat ini kukirimkan sejumlah uang. Aku ingin kau menggunakan uang ini untuk membayar sekolah. Kalau masih kurang, aku akan mengirim lagi bulan depan.
Aku tahu kau kesepian karena teman-temanmu memilih bekerja alih-alih menyelesaikan sekolah. Aku bisa mengerti perasaanmu. Hanya saja, apa kau yakin siap kerja? Selama ini aku dan Bapak bekerja keras untuk membiayaimu sekolah karena kami pikir itulah cita-citamu. Kau anak paling kecil di keluarga kita, tentu kau haruslah memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Hal itu juga yang menjadi harapan kami.
Jadi, aku mohon kepadamu untuk mempertimbangkan pilihan dengan baik. Bekerja tidak seenak dalam pikiranmu. Meski begitu, seperti yang kauminta, aku sudah bicara kepada Pak Budi, pemilik toko tempatku bekerja dan beliau tidak berniat menambah karyawan. Keadaan sedang tidak stabil di sini. Krisis membayangi usahanya.
Andaikata kau ingin mengintip kehidupan kota yang kaupikir wah, aku mengundangmu ke sini. Kau bisa datang kapan saja ke kos yang kuhuni. Alamatnya kutulis di amplop. Namun, aku berharap kau tidak datang sendiri. Syukur-syukur, kau bisa mengajak Bapak dan Ibu sekalian.
Sekian surat dariku. Salam untuk Bapak dan Ibu, serta keluarga di sana.
Kakakmu,
Nadia.
Mira melipat kembali surat itu. Ia sudah membacanya berulang kali hingga kertasnya lecek. Walau begitu, tetap saja yang tertangkap oleh otaknya bukan saran sang kakak agar melanjutkan sekolah, melainkan yang satunya: saran supaya ia datang ke kota. Ia tahu bos kakaknya telah menolak keinginannya sebagai karyawan. Namun, ia yakin, jika melihat kesungguhan dan tekadnya, si bos akan luluh. Apalagi kalau tahu Mira telah banyak bekorban agar dapat menemuinya.