Gerimis ini baru permulaan, semoga selalu dapat bertahan dengan sisa-sisa mimpi janji semesta.
Fellycia tidak ambil pusing dengan pengusiran yang dilakukan ayahnya. Profesi 'masseur' dari Ais di sebuah panti pijat, saat ini hidupnya sudah cukup tenang dan mapan untuk melanjutkan kuliahnya kembali. Ia sudah tidak lagi bergantung pada kucuran dana dari orang tuanya.
Berbulan-bulan tinggal di Jogja sebagai anak rantau telah membawanya pada satu keyakinan bahwa selama ada kemauan selalu ada jalan. Ia hanya butuh percaya Tuhan itu ada. Cukup.
Fellycia bertubuh tinggi dengan rambut tergerai basah baru saja masuk kelas. Mata kuliah baru saja akan dimulai. Sepasang mata bening Fellycia yang bersembunyi di balik kaca mata transparan menatap dosen yang serius mengajar.
“Siapa namamu, Nona?” tanya Dosen dengan nada penuh tekanan.
“Fellycia, Pak.” Suara gadis itu terdengar bergetar. Tatapan setajam mata burung gagak sang dosen membuat nyalinya menciut.
“Nomor mahasiswa?” Fellycia meraih pena kemudian mencatat deretan angka kemudian di perlihatkan ke Dosen.
“Silakan tutup pintu kelas dari luar dan temui saya di ruangan setelah makan siang,” lanjut Dosen dengan wajah datar.
Fellycia membekap mulut yang sontak terbuka dengan tangan. Ia tidak menyangka terlambat lima menit saja membuatnya harus menerima hukuman.
“Apa ucapan saya kurang jelas?” Dosen maju beberapa langkah sembari terus menatap mahasiswi yang berdiri dengan wajah pasi. Fellycia kesal tapi tak mungkin menuruti hukuman Dosen yang terkenal killer itu.
“Eh, iya, jelas, Pak.”
“Bagus. Silakan dikerjakan perintah saya.”
“I-iya, Pak.” Fellycia membalikkan badan lalu menghilang di balik pintu diiringi tatapan prihatin teman-teman sekelasnya. Sepeninggal Fellycia, Dosen kembali membalikkan tubuh menghadap para mahasiswa.