Dua tahun adalah waktu yang panjang bagi sebuah penantian, namun terasa begitu singkat bagi sebuah perjuangan. Janji yang diucapkan Tirta di saung tepi sawah menjadi api sekaligus beban. Api yang membakar semangatnya untuk bekerja melampaui batas, dan beban yang menghimpit dadanya setiap kali malam tiba.
Setiap fajar menyingsing, punggung Tirta sudah beradu dengan terik matahari, tenaganya ia baktikan menjadi buruh cangkul di sawah orang atau kuli angkut di perkebunan. Namun, ia tahu upah harian tak akan pernah cukup. Dengan sisa tenaganya, ia mencoba peruntungan lain. Ia kumpulkan sedikit demi sedikit tabungannya, lalu membeli bibit cabai terbaik. Di sepetak kecil tanah di belakang rumah ibunya, ia menanam harapannya. Setiap sore, setelah tubuhnya remuk oleh pekerjaan kasar, ia masih menyempatkan diri menyirami dan merawat tanaman-tanaman itu. Ia membayangkan panen yang melimpah, keuntungan yang bisa ia gunakan untuk selangkah lebih dekat pada Kinaya. Namun, takdir seolah sedang mempermainkannya. Seminggu sebelum panen yang dinanti, hama menyerang dengan ganas. Dalam dua hari, semua tanamannya yang hijau dan rimbun berubah layu, daunnya menguning dan buahnya membusuk di tangkai. Sore itu, Tirta hanya bisa berdiri mematung di tengah kebun kecilnya, menatap kehancuran harapannya. Kegagalan spesifik itu terasa lebih menyakitkan daripada kelelahan fisik mana pun.
Di seberang desa, Kinaya menjalani dua tahunnya dalam peperangan sunyi. Ia memegang janji Tirta seperti jimat, namun tekanan dari luar semakin kencang. Suatu malam, setelah makan malam, ayahnya berdeham, sebuah pertanda percakapan serius akan dimulai.
"Naya," kata ayahnya dengan nada datar namun tegas. "Tadi siang, Juragan Sastra datang lagi. Niatnya baik, ingin melamarmu. Dia saudagar tembakau yang disegani, hidupmu akan lebih dari terjamin."
Kinaya meletakkan piring yang sedang ia cuci, jantungnya mulai berdebar. "Bapak..."
"Sudah dua tahun, Naya," potong ibunya dengan nada lebih lembut. "Usiamu sudah dua puluh dua. Kami ini orang tuamu, hanya ingin melihatmu bahagia."