"Naya? Ada apa?" tanya Tirta, mencoba menyembunyikan kelelahannya.
Kinaya tidak sanggup berbasa-basi. Matanya menatap lurus, mencari sisa harapan di wajah kusam itu. "Kang... bagaimana dengan janji Akang dua tahun lalu?"
Pertanyaan itu seperti sebilah pisau yang menusuk tepat di ulu hati Tirta. Ia terdiam. Bayangan kebun cabainya yang layu melintas di benaknya. Ia menatap kedua telapak tangannya yang kapalan, simbol dari perjuangannya yang sia-sia. Ia ingin berbohong, ingin berkata "Sebentar lagi, Naya, sebentar lagi," tapi lidahnya kelu. Ia tidak bisa lagi menjual harapan kosong pada gadis yang telah begitu setia menunggunya.
Langit di belakangnya semakin temaram. Bayangan mereka memanjang di atas tanah kering. Tirta menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua sisa kekuatannya bukan untuk berjuang, tapi untuk menyerah.
Perlahan, dengan rasa sakit yang merobek-robek jiwanya, Tirta menggelengkan kepalanya.
Satu gelengan kepala. Tanpa suara. Namun gaungnya lebih keras dari petir di telinga Kinaya. Dunia gadis itu seakan berhenti berputar. Udara yang ia hirup terasa hampa. Pohon asam di atas mereka seolah ikut menunduk layu.