Tirta tidak menjawab. Ia melangkah masuk dengan langkah gontai, meletakkan cangkulnya di sudut dengan denting yang lebih keras dari biasanya. Ia berjalan melewati ibunya, langsung menuju kendi air di pojok ruangan. Saat ia minum, punggungnya yang biasanya tegap itu tampak merosot, menampakkan beban yang tak terlihat.
Bu Ratmi menghentikan gerakan tangannya. Hati seorang ibu adalah kitab yang mampu membaca tulisan tak kasat mata di wajah anaknya. Ia melihat keheningan yang tak biasa, pundak yang terkulai, dan cara putranya itu meneguk air seolah hendak memadamkan api di dalam dada.
"Le?" panggilnya lagi, kali ini dengan nada lembut yang penuh selidik.
Tirta meletakkan cawan batok kelapa itu, lalu berbalik. Ia tidak berani menatap langsung ke mata ibunya. Pandangannya jatuh ke lantai bambu yang dingin. Ada kesedihan yang begitu pekat di wajahnya, sebuah kekalahan yang tertahan di rahangnya yang mengeras.
Bu Ratmi meletakkan kain jahitannya. Ia bangkit dan mendekati putranya. Ditatapnya lekat-lekat wajah yang ia lahirkan itu, wajah yang kini menanggung luka. Tak perlu kata-kata. Ia sudah tahu. Hatinya ikut merasakan pedih.
"Sudah berakhir, Bu," akhirnya Tirta berbisik, suaranya serak dan parau, tanpa menatap ibunya. Hanya dua kata, namun bobotnya terasa seperti berton-ton batu yang menghancurkan hati Bu Ratmi.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata tua itu, lalu mengalir tanpa isak. Ia menarik lengan anaknya, menuntunnya untuk duduk di tepi dipan bambu. Di sana, dalam keheningan yang sarat makna, ia mengelus punggung putranya.
"Le," panggilnya dengan suara bergetar menahan tangis. "Dengarkan Ibu. Tidak semua yang kita inginkan di dunia ini harus tercapai."