2019
"Kau terlampau jauh darinya Day, menyerah saja."
Seorang gadis nampak sibuk dengan penanya, entah apa yang dia coba uraikan di lembar kerja miliknya. Namun, satu hal yang pasti. Pikirannya sedang kacau. Dan hal itu tak membuatnya lekas membaik. Bulir air mata terus saja mengalir dari pelupuk matanya. Ruangan yang ia tempati tak membuatnya tenang. Sendiri. Itulah satu hal pasti yang dirinya inginkan sekarang. Tak ambil pusing, ia pun segera meninggalkan mejanya dan menuju ke balkon atas. Ruangan yang ia tempati menjadi saksi bisu dimana gadis itu pertama kalinya menjatuhkan air mata selain di rumahnya sendiri.
Sesampainya di atas, langit menyambutnya dengan warna biru cerahnya. Sedangkan alam menyapa dengan gerak angin lembut yang membelai rambutnya. Membuat gadis itu bisa merasakan sejuknya. Namun, semua itu hanya bertahan dalam hitungan detik. Karena sesaat lagi, akan ada pertunjukan yang memekiknya perlahan. Pikirnya.
"Daynar, kamu gak seharusnya di sini. Pak Binto bisa marah besar," kata seorang teman menyadarkan lamunannya.
"Maaf Deni, aku tau aku salah," Daynar menyeringai sembari menghapus setiap air matanya.
"Kamu dipanggil ke ruang Pak Binto sekarang," sambung Deni dengan raut wajah khawatirnya. Deni adalah sosok lelaki berbadan kurus dengan wajah tampan. Wajah tampan yang dimiliki lelaki itu menjadikan dia salah satu yang diidam-idamkan oleh banyak wanita di sekolah Daynar.
Daynar mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Tapi, ketika dirinya hendak melewati Deni. Deni meraih tangan kanannya.
"Jangan ingat dia lagi Day, hampir 4 tahun kamu ngga bisa ngelupain dia dari hatimu," ucap Deni dengan nada rendah.
Gadis itu perlahan menunduk, ia merasakan bahwa dadanya kembali sesak. Lagi-lagi ia mengalami dispnea sesaat. Logikanya berusaha keras membentuk benteng agar Daynar tak lagi menangis. Selang beberapa detik, nafasnya kembali normal.
"Kamu gak bisa melawan apa yang menjadi pilihan dari hatimu Deni," ucapnya tegas sembari melepaskan tangan lelaki itu.