Merenda Cinta Di Atas Duka

Rainzanov
Chapter #3

Nuansa Tanpa Cahaya

Back to 2019

Tepat pada hari ini, hujan menemani Daynar di kamarnya. Setiap tetes air yang jatuh dari langit mencipta bahagia tersendiri bagi seorang Pluviophille seperti dirinya. Suara hujan membantunya meredam segala emosi yang mencoba menguasai dirinya. Baik itu sedih, marah hingga kecewa. Dunia yang dihadapinya sekarang, pelan tapi pasti. Menggiringnya ke dalam memori dimana ia bertegur sapa dengan sosok lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Waktu yang berputar seharusnya mampu membuatnya melupakan lelaki itu. Namun, ketika dunia terus melaju dengan perputaran waktunya, sosok lelaki itu seolah berhenti dan membuat Daynar terfokus hanya kepadanya.

Sesekali ia meneliti apa yang ada di atas awan, terkadang ia bertanya, apakah benar doanya bisa membawanya sampai kepada orang yang dicintainya. Rupanya, memikirkan lelaki itu tetap saja tak membuatnya lelah. Beberapa kali Daynar memandangi kamarnya dimana terdapat sebuah walpaper kimino na wa terpajang tepat di dinding kamarnya. Ia kembali merasakan ketenangan setelah melihat walpaper itu. Namun, suara dari luar membuatnya kembali merasakan sesak.

"Ayah, kita ini sudah banyak masalah. Jangan malah memperburuk masalah!"

"Kamu kan yang bilang kalo aku ini Ayah yang ga tanggung jawab. Kamu bisa apa? Aku kerja mati-matian! Kamu cuman di rumah dan bisanya nagih minta duit aja!" Bentak Abid dari luar pintu.

Daynar memiliki kebiasaan menutup kedua telinganya tatkala ia mendengarkan kedua orang dewasa itu bertengkar.

"Ayah, apa selama ini kamu ga sadar? Kamu udah jarang ngasih aku uang. Uangmu habis entah buat apa?! Sekarang?! Kamu nyalah-nyalahin aku?! Siapa yang ngelarang aku buat kerja waktu dulu?! Kamu kan?!" Tanya Ibu Daynar dengan nada emosi dan mata berkaca-kaca.

"Berani ya kamu sekarang?! Ngelawan terus kamu bisanya! Sudah, saya mau pergi dari rumah ini!" Bentak Abid dari belakang sembari membanting sebuah gelas yang sedari tadi ia bawa.

"Brak"

Pintu tertutup. Seketika, ayah Daniar meninggalkan rumah. Daynar segera mengintip dari balik jendela untuk memastikan bahwa ayahnya telah pergi. Setelahnya, baru ia berlari mendekati Ibunya.

"I... Ibu," katanya lirih sembari memegang pundak Ibunya dari belakang.

"Na.. Nak," panggilnya sembari menangis.

Daynar yang melihat ibunya menangis merasa tak bernyali. Ia merasa seolah dirinya dan Ibunya hanyalah debu bagi ayahnya. Daynar membawa Ibunya ke dalam pelukannya.

"Ibu, kenapa Ibu dan Ayah tak bercerai saja?" Tanya Daynar sembari mengelus kepala Ibunya.

Namun, sang ibu memilih diam. Setelah satu menit berlalu, dia melepaskan diri dari pelukan putrinya.

"Nak, kamu tau sendiri, Ibu tidak bekerja. Lalu, bagaimana kita berdua bisa hidup jika kita berpisah dari ayahmu?" Tanya sang ibu setelah mencium kening putrinya.

"A.. Aku bisa bekerja Ibu. Kita berdua bisa hidup tanpa Ayah. Jika perlu, A.. aku bisa.."

"Sstttt, tenanglah anakku," kata sang ibu lembut.

Daynar tak mampu berkata-kata. Semua hal yang berputar di kepalanya hanyalah bagaimana ia bisa mengambil kepercayaan Ibunya bahwa ia bisa bekerja secara mandiri.

Lihat selengkapnya