Sudah hampir sembilan minggu Ratu mengikuti perkuliahan di kampus ini. Sejauh ini semua baik-baik saja. Menjadi mahasiswa baru di kota yang juga baru memang butuh perjuangan. Tapi dia bisa mengatasinya. Bahkan dia direkomendasikan mendaftar beasiswa PPA berdasarkan nilai raport SMA-nya. Dia hanya harus melampirkan surat keterangan aktif organisasi. Itu bukan masalah. Karena setelah ini dia akan terdaftar menjadi anggota TROPIS, Pecinta Alam dan Lingkungan di kampusnya. Dia sudah tidak sabar ingin mengikuti diklat.
Ratu melirik jam tangannya, ada jeda setengah jam sebelum kuliah selanjutnya dimulai. Ratu bersandar di kursi taman sambil membaca buku. Neni masih ke kantin membeli minuman.
“Ra, ada yang heboh!” Neni datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa?”
“Ayo ikut!” Neni menarik tangan Ratu dengan tidak sabar.
Ratu buru-buru memasukkan bukunya ke dalam tas dan mengikuti Neni.
Ada sebuah kerumunan kecil, Neni dan Ratu menyibak kerumunan itu untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di tengah-tengah kerumunan, berdiri seorang cowok sebagai tokoh utamanya. Ratu menyipitkan mata, dia mengenali cowok itu. Jadi mereka satu jurusan? Astaga, Ratu merasa kesialannya bakal bertambah lagi.
“Aku bilang hapus!” Cowok itu meradang, ia menatap seorang cewek di depannya dengan amarah meletup-letup.
“Nggak!” Sambil menahan tangis, cewek cantik di depannya mendekap tasnya erat-erat.
“Oke. Kamu sendiri yang memilih cara kasar.” Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, tangannya terjulur untuk meraih tas dalam dekapan cewek di depannya.
Cewek itu menjerit, disusul jeritan kerumunan yang mayoritas kaum hawa.
Karena baru menyadari dirinya menjadi tontonan gratis, cowok itu mengalihkan kemarahannya pada kerumunan itu.
“Kalian lihat apa? Bubar! Aku bilang bubar!”
Satu persatu mereka yang bergerombol di situ pergi dengan takut.
Sementara cewek cantik di depannya menangis lirih saat cowok itu berhasil mengambil tasnya, tiba-tiba sebuah sentakan cepat membuat tas itu terlepas. Ratu berhasil merebutnya. Cowok itu menatap Ratu tajam.
“Jangan ikut campur!” Desisnya.
“Ini tuh nggak bener. Harusnya cowok itu nggak boleh nyakitin cewek.”
“Itu bukan urusanmu!”
Sebagai bentuk protes, Ratu mengembalikan tas itu pada cewek cantik yang ternyata Mbak Yulia, kakak tingkat yang juga model terkenal dari kampus mereka.
Yulia mengucapkan terima kasih dan bergegas pergi dari situ, namun langkahnya tak cukup cepat karena cowok itu berhasil menyambar tangannya dan sekali lagi mendapatkan tas itu, merogoh isinya dan menemukan ponsel yang cukup mahal. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, dia melemparkan tas itu pada Yulia.
Dengan cepat, cowok itu memencet ponsel Yulia.
“Aku bukan barang taruhan atau tontonan. Kali ini kamu selamat, tapi jika kamu ulangi, kamu tahu akibatnya.” Dia memastikan Yulia mengangguk sebelum mengembalikan ponselnya.
Sekarang, hanya tinggal dia dan Ratu yang saling menatap dengan sengit.
“Dan kamu. Aku masih akan membuat perhitungan denganmu. Bersiaplah”
“Aku nggak takut.”
Cowok itu meninggalkan Ratu tanpa menoleh lagi.
“Kamu sih... cari gara-gara. Nggak ngerti masalahnya juga.” Neni yang sedari tadi melihat dari kejauhan menghampiri Ratu dan mengajak sahabatnya pergi dari situ, kembali ke bangku di taman kampus.
“Dia kan memang seperti itu orangnya. Tukang tindas. Dia nggak pernah mau ngaku salah. Dan selalu nyalahin orang. Senang menindas orang lain. Aku nggak suka.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Ingat cowok gila yang aku ceritakan saat ospek? Dia orangnya.”
“Serius? Mas ganteng?”
“Hah?”
“Iya julukannya Mas Ganteng. Aku nggak tahu namanya. Tapi teman-teman kita memanggilnya ‘Mas Ganteng’. Dia emang ganteng sih.”
Mereka duduk di kursi taman, Ratu meneguk minumannya sambil memandang sekitar.
“Tapi kalau yang tadi kayaknya kamu yang salah deh Ra.”
“Salah gimana? Tahu sendiri tadi Mbak Yulia ditindas gitu. Ya nggak mungkin aku diem aja kan? Jadi ku bantu sebisaku.”
”Iya aku ngerti. Tapi menurutku tadi itu Mbak Yulia yang salah. Soalnya sebelum jemput kamu, aku sempat tanya sama teman-teman yang menonton tadi, ada masalah apa. Katanya Mbak Yulia tiba-tiba mendatangi Mas Ganteng, langsung mencium pipinya sambil difoto.”
Ratu terbatuk. Minuman yang sudah setengah jalan tidak tertelan sempurna karena mendengar cerita Neni, membuatnya tersedak.
“Demi apa coba dia ngelakuin itu?” Ratu bertanya setelah batuknya reda.
“Dia taruhan sama teman-temannya. Harusnya sih dia menang. Tapi tadi Mas ganteng sudah menghapus foto itu kan dari ponselnya?”
“Taruhan?” Ratu masih tidak mengerti. Ada ya orang kurang kerjaan kayak gitu.
“Iya. Gitu-gitu, Mas Ganteng populer lho di kampus kita. Dia mahasiswa pintar dan anti banget sama cewek. Maksudnya... dia nggak pernah punya hubungan spesial sama cewek. Cuma sekedar kenal karena hubungan organisasi atau teman sekelas. Bisa dibilang dia pasang tembok tinggi biar cewek-cewek nggak deketin dia. Nah jadi banyak yang taruhan buat dapetin perhatian atau sekedar deket sama dia. Mungkin ada kebanggan tersendiri kalau bisa jalan sama dia.”
“Pantesan. Dia garang kayak macan kalau ketemu cewek. Mungkin aja ntar dia nikahnya sama genderuwo.”
“Genderuwo itu cowok tahu.”
“Emang kamu pernah tahu?”
“Hush!”
“Masuk yuk! Bentar lagi kelas dimulai.”