Arik meneguk air gelas yang dibawakan oleh perawat itu. Tertidur bertahu-tahun membuat dahaganya haus dan tenggorokannya kering. Bunyi perut yang kosong terdengar seisi ruangan, membuat perawat itu terkekeh.
“Bagaimana rasanya hidup kembali, Tuan ?” tanya perawat yang membawakannya makanan.
Arik tak tahu harus mengucap apa. Perasaannya campur-aduk seperti gado-gado. Ia bingung, dimana letak kesalahan yang mengakibatkan dirinya hampir saja menemui ajal. Ia menyuap salad buah dihadapannya, sembari berpikir harus berbicara mulai darimana.
“Suster, kau tahu, perasaanku saat ini seperti salad buah ini. Aku tak tahu harus makan buah yang mana terlebih dahulu. Sama, aku tak tahu mana yang harus kujelaskan terlebih dahulu. Semua punya rasanya masing-masing,” ucap Arik yang masih menyendok salad buahnya.
Wanita itu tersenyum kecil dan mulai menggenggam lengan Arik yang ditempeli selang infus. “Anda tak perlu menceritakan semuanya. Banyak orang koma yang tak tahu harus menyatakan perasaannya seperti apa saat terbangun dari kondisi kritisnya.”
“Ada orang yang bingung, mengapa dirinya harus terbangun. Ada pula yang menyatakan kalau dirinya lebih baik mati dibanding harus terbangun di kondisi sulit”.
Tangan perawat itu bergerak mengusap jarum penghubung selang infus dengan pembuluh darahnya, tempat masuknya berbagai cairan, dengan sebuah tisu basah. Perban yang melekat dicabut dengan perlahan menyisakan bekas kehitaman dari perban tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pencabutan jarum infus dari kulitnya.
“Beberapa tahun lalu, di saat Anda sedang tertidur lelap dalam koma. Seorang pemuda membawakan itu”, ucapnya yang merujuk kepada vas bunga disertai kartu ucapan tersebut. “Sepertinya dia sahabat Anda, dia sering menginap disini, bahkan saat orangtua Anda sedang tidak ada”.
Mendengar kata orang tua, pikiran Arik beralih untuk bertanya masalah itu. “Oh iya, orang tuaku mana ?”
“Mereka kembali ke rumah. Bertahun-tahun koma dan memikirkan Anda, membuat mereka terus-terusan bersedih. Karena terlalu lama menunggu, mereka memutuskan untuk menunggu di rumah dan kembali ke sini tiap akhir pekan” jawab perawat itu.
Arik mengangguk paham, seakan mengerti alasan orang tuanya tak berada di sampingnya. Ia menggaruk kepalanya yang sedikit gatal, meraba rambut cokelatnya yang mulai kasar dan panjang efek tidak mencukur selama bertahun-tahun.
Dia menatap layar smartphone yang digenggamnya, layarnya menyala, namun masih tak bisa melihat isinya karena memiliki sandi pengunci layar.
“Handphone itu, milik pemuda itu” ujar perawat itu.
Adam menghela nafas lega. “Oh, Aku pikir tak akan bisa mendapatkan pemiliknya.” Ia tersenyum menatap layar ponsel pintar itu. “Ngomong-ngomong, orangnya seperti apa ?” Arik kembali bertanya.
“Orangnya seusia atau mungkin berbeda setahun dengan Anda saat itu. Dia tampan. Rambutnya, berwarna putih, seperti sayap malai-”
“Putih ?” Arik menyela percakapan. Dia tak pernah memiliki seorang teman pun berambut putih. Teman yang albino bahkan tak ada. “Apa kau serius ? Aku tak punya teman berambut putih” lanjut Arik sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menunjukkan senyum kebingungan, menganggap jika ucapan perawat itu hanya bualan.