Meridian

Enriko Richardo
Chapter #3

Misteri Tidur Panjang [2]

Suara jam terus berdetak dikala sunyi menyelimuti suasana di dalam bilik pasien Arik. Ratih--Ibunda Arik tersenyum tanpa ekspresi. Ia memutar otak untuk berpikir kabur dari situasinya yang terjepit.

"Mama." Arik menyerukan nama Mamanya yang belum memberi jawaban atas rasa penasarannya. Ibunya sontak menyahut seolah-olah baru sadar dari lamunan. Hendak akan membuka suara, tiba-tiba suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Ibunya.

"excusme" ucap seorang wanita di balik pintu masuk bilik pasien itu dengan berbahasa inggris.

Ratih mengucap syukur dalam hati karena Tuhan memberinya waktu untuk bisa menjelaskan. Ia tergopoh-gopoh berlari menuju pintu bilik yang tidak terkunci. Tangannya meraih gagang pintu, menarik turun gagang itu dan membukanya sedikit. Matanya mengintip diantara sela pintu yang terbuka.

Jas putih seorang dokter membuat Ratih telah memafhumi siapa-di-depan-pintu. Pandangannya naik menatap wajah sang pemilik jas. Seorang wanita blasteran berparas cantik dengan hijab merah muda menutupi kepala menggambarkan siapa-tamu dibalik pintu.

Arik menatap heran Ibunya yang cukup lama membuka pintu biliknya untuk sang tamu. Dia menyeru Ibunya yang sedang berdiskusi singkat dengan tamu-di-balik-pintu. "Ma, siapa yang datang ?"

Ratih termangu. Takut Arik menatapnya curiga, ia lantas memberikan akses masuk kepada tamu-di-balik-pintu ke dalam bilik pasien Arik. Aroma kuat dari parfum rasa mawar menyebar ke seluruh sisi bilik. Arik mengendus aroma wangi itu, langsung saja kepalanya berbalik menengok sosok dokter wanita muda yang melangkah masuk mendekatinya.

Suara sepatu hak tinggi terdengar lantang di tiap langkah wanita itu. Senyumnya rupawan. Riasan natural yang menghias wajah membuat tampilannya makin sempurna. Hijab merah jambu menutup aurat wanita blasteran itu dengan maksimal, membuat tampilan muslimah-nya semakin menarik di mata pemuda itu.

Ia berhenti setengah meter dari tubuh Arik yang belum selesai menyantap hidangan pagi dari Ratih. Wanita itu angkat bicara, "selamat pagi Tuan Arik. Perkenalkan, saya Amanda, dokter Anda." Suara sopran lantang menginterpretasikan sifatnya yang tegas.

Mengikut di belakangnya, seorang suster berwajah pribumi yang ditemui pemuda itu semalam muncul memberi berkas kepada Amanda. Map biru transparan berisi kertas itu berpindah tangan kepadanya. Amanda mengangguk paham setelah seluruh isi map-nya selesai dibaca.

"Sepertinya tak ada komplikasi yang terjadi saat ini. Berarti tinggal berlatih untuk menguatkan saraf dan fungsi kerja otot Anda" ujarmya yang tak melepaskan pandangan pada kertas dari map tersebut.

Jari lentiknya yang dibungkus oleh sarung tangan hitam, memasukkan kembali lembaran kertas itu ke dalam map. Tatapan dingin melekat ketika pandangannya beralih menatap wajah Arik yang terpaku akan pesonanya. Hela nafasnya ringan, alih-alih menghilangkan beban pikiran wanita itu ketika masuk ke dalam bilik pasien. Setumpuk rasa penyesalan terukir di rautnya, mengingat pesan sang kekasih sebelum pergi untuk berpisah.

"Bagaimana perasaan Anda beberapa hari ini ? Sehat ? Ada sedikit rasa perih atau apa ?" wanita itu bertanya dengan pandangan yang tak menyorot mata pasien secara langsung.

Bingung mau menjawab apa, Arik hanya mengangguk dengan masih memikirkan gejala yang terjadi. "Ah... Sebenarnya Aku lupa alasan mengapa Aku berbaring disini begitu lama. Apa dokter bisa menjelaskannya? " ujarnya yang membalikkan pertanyaan kepada Amanda. Ia tersenyum polos menatap Amanda yang tanpa sengaja bertatap langsung dengannya.

Wanita itu menarik nafas panjang. Walau rasa kesal meluap dalam dadanya, namun apalah daya karena ia punya kewajiban menjaga pasien dihadapannya. Matanya menatap Ratih-Ibu Arik dipojok ruangan yang berkedip memberi tanda. Tanpa ditanya ulang, Amanda sudah mengerti mengenai perjanjian mereka untuk tidak memberi tahu Arik lebih cepat.

"Saya tak bisa memberitahu Anda sekarang," ucap Amanda membuat Ratih menggelengkan kepala. Namun ucapannya belum selesai, "anda sendiri yang memberi tahukan gejalanya, kan ?"

Amanda menyerang balik ucapan pemuda itu. Arik kegugupan, mengeja kembali ucapan wanita itu, "ge-gejala ?"

Angguk wanita itu tegas. "Benar. Lupa ingatan itu adalah gejala penyakitnya. Bila diberitahu sebelum waktunya, otak Anda akan berusaha untuk terus mengingat kejadiannya. Itu akan menurunkan fungsi kerja otak dan memberikan efek nyeri pada saraf. Jadi, belum saatnya menurut saya. Maaf..." jelas wanita itu dengan jujur mengenai kondisi psikis pasiennya. "Saya harap Anda bisa mengerti Nyonya Ratih" lanjutnya.

Amanda berusaha untuk berkata jujur demi membungkam jawaban yang sebenarnya, walau memang sedikit menyakitkan untuk diterima oleh pria itu.

Alasan sebenarnya bukan karena gejala Arik yang membuatnya harus bungkam mengenai mengapa pasiennya itu berada di rumah sakit dengan kondisi koma. Melainkan karena perjanjian yang telah disepakatinya dengan Ratih--Ibunda Arik, serta wasiat sang suami sebelum ia menjadi seorang janda muda.

Lihat selengkapnya