MERINDU DI KOTA KAIRO

Embart nugroho
Chapter #1

KAIRO

Fatimah memalingkan wajahnya ke jendela kereta. Pandangannya menyapu di sekitar stasiun Sakanat Al Maadi, Cairo. Di stasiun itu dulu ia pernah bertemu dengan seorang pemuda Indonesia yang juga belajar di Cairo. Perkenalan mereka sangat singkat di sebuah kereta. Saat itu Fatimah melihat cowok dengan eksen Indonesia. Pemuda itu menatap dirinya sambil mengumbar senyum manis. Fatimah yang diperhatikan dan mendapat senyuman itu langsung menunduk sambil berucap, astagfirullah. Tak berapa lama laki-laki itu mendekati Fatimah dan mengajaknya berkenalan. Hadid Dandhi, namanya. Ia berasal dari Bandung dan menempuh pendidikannya di Cairo. Fatimah lebih banyak menunduk waktu itu, walau jantungnya berdebar sangat kencang.

Perkenalan itu membuat Fatimah susah tidur. Ada sesuatu yang menjalar di hatinya. Pertemuan itu begitu singkat dan pemuda itu berhenti di salah satu stasiun. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi bertemu dengan pemuda itu dan hatinya menjadi raib. Fatimah tidak bisa melupakan sosok pemudah itu. Wajahnya sangat tampan. Berkulit putih dan terlihat sempurna.

Berhari-hari Fatimah mencari pemuda itu, namun ia tidak pernah bertemu. Fatimah galau. Ia hanya bisa beristiqfar ketika hatinya semakin resah. Ia meminta kepada Allah agar dipertemukan lagi dengan pemuda itu. Namun ia tak menemukan pemuda itu dan akhirnya Fatimah mengubur semua perasaannya. Ia menyimpan rasa hati yang raib dengan banyak mendekatkan diri pada sang Halik.

Fatimah tiba di sebuah apartemen di kawasan Nasr City. Kawasan hunian mahasiswi Indonesia yang cukup murah dibandingkan dengan apartemen di Maadi. Fatimah meletakkan tas selempang kecilnya di atas meja. Kemudian ia duduk di atas tempat tidur sambil menarik nafas dalam-dalam. Hari ini sangat melelahkan. Perjalanan panjang dari sebuah stasiun kereta menuju mesjid Al Azhar yang letaknya cukup jauh dari apartemennya membuat ia mempelajari arti sebuah perjuangan hidup. Ia sangat dahaga hingga tak sabar meneguk air dalam botol kemasan sampai habis.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering keras dengan nada suara Alm. Ust. Jefry. Fatimah beranjak dari tempat tidurnya dengan malas dan mengambil ponselnya di atas meja. Ia melihat reminder di ponselnya yang bertulisakan Mama.

“Assalamualaikum, Ma…” Sapa gadis itu lembut. Ia menyeka keringat di keningnya dengan tisu. Cuaca yang sangat panas membuat Fatimah mengeluarkan aroma tubuh yang sama.

 “Wa’alaikumsallam…” Jawab perempuan berusia lima puluh tahunan dari seberang sana. Ia mama Fatimah yang sangat menginginkan putri satu-satunya segera menikah.

“Fatimah… Kapan lagi kamu selesai? Sudah lima tahun kamu di Cairo, masak belum selesai juga? Kamu ngapain aja disana? Temen-temen kamu sudah pada selesai, kamu kok enak-enakan disana? Mama ingin kamu segera pulang ke Indonesia. Apa yang kamu cari disana, Nak? Papa dan mama sudah kangen sama kamu.”

Fatimah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian ia menghampiri jendela dan membuka gordennya. Cahaya matahari terasa menyengat seperti bara api dan menembus langsung di kamarnya. Fatimah memicingkan matanya sejenak, lalu menjawab pertanyaan mamanya.

Lihat selengkapnya