Kereta yang membawa Fatimah menyusuri rel yang sama bergerak sangat cepat. Kereta itu juga melewati stasiun Al Maadi, stasiun yang membuat hati Fatimah berdebar tak manentu. Ia selalu memperhatikan orang-orang yang menunggu kereta dan berharap pemuda itu ada di sana, namun pemuda itu tetap tidak ada.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya Fatimah tiba di mesjid Al Azhar dan menemui seorang guru disana. Ust. Husein, seorang warga Negara Indonesia dan Iran. Ustad itu juga seorang peranakan yang menetap di Cairo.
Fatimah mengungkapkan isi hatinya yang telah raib. Bagaimana ia merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Ust. Husein memberikan wejangan kepadanya.
“Bila iman yang menuntun cinta, ketahuilah ia akan membawamu ke dalam surga yang abadi. Namun bila hatimu bukan akan cinta niscaya engkau tersesat ke dalam kegelapan.”
“Tapi, Ustad...” Fatimah menahan perkataannya ketika laki-laki di depannya menatap dengan tajam. Fatimah menundukkan kepalanya.
“Sudahlah... Jodoh, rezeki dan kematian itu ada di tangan Allah. Sebaiknya kau lebih banyak memanjatkan doa dan mohon keampunannya. Tidak ada yang lebih baik selain keputusan Allah. Jodoh, rezki dan kematian sesungguhnya telah pun ada ketetapan atas tiap-tiapnya, namun Allah memberi kebebasan dalam memilih takdir yang akan dijalani.”
Fatimah mendengarkan sebuah petuah itu sambil merenung, lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian beranjak dari duduknya dan pamit ke Ustad Husein. Ada rasa teriris dalam hatinya hingga ia merasakan kepedihan yang mendalam. Benar apa yang dikatakan Ust. Husein.
Lunglai langkahnya menuju stasiun kereta yang akan membawanya ke flat yang ia sewa lima tahun lalu. Dari jendela kaca ia melihat lagi kota Mesir yang berwarna kecokelatan. Kota itu membuatnya selalu terkagum atas kekuasaan Allah. Allah pun telah mengabadikan Mesir ini dalam Al-qur’an.
Lagi-lagi Fatimah termenung akan meninggalkan kota itu untuk selamanya atau sementara dan kembali ke Indonesia atas permintaan ibunya. Selama di perjalanan ia hanya memperhatikan kota itu melalui jendela kaca kereta. Ia tak perduli lagi dengan keributan kecil orang-orang mesir. Tiba-tiba saja ia melihat sosok laki-laki yang selama ini dicarinya. Laki-laki itu berada di sebuah stasiun kereta. Buru-buru Fatimah bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kereta. Ia mencari-cari pemuda itu dikerumunan para penumpang.
“Hadid..!!!” Panggilnya ketika ia melihat pemuda itu berjalan di koridor. Pemuda itu menoleh dan menatap Fatimah dengan lekat. Ia hampir lupa siapa gadis yang memanggil namanya. Fatimah menghampiri pemuda itu dengan hati yang bergemuru. Ia sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.
“Assalamualaikum…” Sapa laki-laki itu.
“Waalaikumsallam …” Sambut Fatimah seraya mengumbar senyum manisnya.
“Fatimah?” Pemuda itu mengerutkan keningnya. “Bagaimana kabarmu?” Tanyanya kemudian.
“Alhamdulillah… Aku baik-baik saja. Aku sudah mencarimu kemana-mana, ternyata kamu ada disini.” Ucap Fatimah dengan perasaan tidak menentu.
“Kamu mencariku? Hei... ada apa?” Tanya Hadid penasaran sambil menatap wajah Fatimah yang malu-malu. Fatimah menunduk, lalu mendongak sekilas. Ia tak ingin menatap wajah Hadid lebih dalam, karena itu sama saja dengan zinah.
“Enggak apa-apa, Did.” Ucap Fatimah sambil melangkahkan kakinya. Hadid mengikuti langkah Fatimah seraya berujar.
“Aku masih disini untuk beberapa waktu. Minggu depan aku harus terbang ke Dubai.”