“Bu, kenapa rumah mak Tiah di pagar tinggi begini bu, padahal cantik kan,..? tak bisa tengok lagi dari samping sini..?” ibuku menjawab bahwa rumah mak Tiah sudah dijual dengan orang dari kota, dan orang kota tersebut yang membangun rumah baru itu, mak Tiah ikut anak nya yang paling besar ke Pekanbaru. Woaah, pantas saja dari design nya sangat berbeda dari rumah – rumah kampung pada umumnya.
“Bu, nanti selepas makan siang , ada yang Aafiyah mau bilang ke ibu, penting.” Aku menatap ibuku, dan aku hafal betul tatapan balik ibu padaku, itu adalah tatapan curiga ingin segera mengetahui topik pembicaraan penting apa yang akan aku sampaikan. Dengan senyum ibuku berlalu memanggil ayah yang sedang menatap anak – anak ayam peliharaan nya berlarian di halaman belakang rumah kami. Aku melihat ayah dan ibuku, rasa nya berat sekali untuk mengatakan ini, tapi ini juga menyangkut masa depan hidup ku.
Rasanya tidak tega kalau keputusan ini justru membuat ayah dan ibuku tidak bahagia.“ Bu, Sofia kemaren sore datang, katanya minggu depan dia menikah bu, tetapi dijodohkan, ibu belum ada menjododohkan Aafiyah dengan siapa – siapa kan bu..?”. aku membuka pembicaaan yang cukup menegangkan ini, aku melempar senyum kearah ibu yang menatap ku dalam. “Belum, karena ibu yakin, anak ibu bisa menentukan pilihan nya dengan bijak dan baik, Aafiyah sudah punya calon yang akan Aafiyah kenalkan ke ibu dan ayah..?”. Benar sekali ibuku adalah orang yang paling mengerti aku dan segala kebiasaannya. Aku membuka pembicaraan ini dengan senyum menatap ayah juga ibu. Baru saja aku melempar umpan, ibuku sudah menangkapnya dan tidak pernah salah sekalipun. Sekarang giliran ku, bagaimana nanti aku menyampaikan hal penting ini kepada ayah juga ibu. Umpan ini harus berbalas bukan..?
“Ayah, ibu, hemppp.... jadi selama 2 tahun di German, Aafiyah punya teman yang sangat baik sama Aafiyah, sangat perduli dan perhatian, ibadahnya juga rajin bu, namanya Hanif, Hanif juga yang banyak membantu Aafiyah selama di German, dia itu kakak tingkat Aafiyah bu. Aafiyah sudah setahun lebih ini mengenal Hanif dengan dekat, jadi sebulan yang lalu, orangtua Hanif datang ke German ... “ Aku bercerita sembari melihat respon tatapan ibu ataupun ayah, sepanjang ini masih biasa –biasa saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan untuk segera melanjutkan poin dari apa yang akan aku sampaikan. “Jadi, begini bu Hanif itu teman dekat Aafiyah selama di German kan”. Kutatap kembali mata ibuku memastikan bahwa jika aku lanjutkan kalimat ini respon yang akan ibu berikan akan sesuai dengan ekspektasi ku. “Nah, waktu itu ibu sama ayah nya Hanif datang ke German untuk melihat anak mereka Hanif sekaligus juga berkenalan dengan Aafiyah bu, dan... “ aku agak menghela nafas sedikit mengatur nafas untuk dapat melanjutkan kalimat penting ini, kutatap dalam ibuku sebelum menyetakan hal penting ini.
“ Keluarga nya Hanif datang ke German juga untuk meminang Aafiyah bu, mereka kesana untuk berkenalan dengan Aafiyah, rencana nya dua bulan ke depan setelah lebaran mereka akan berkunjung kesini, membicarakan tentang rencana pernikahan Aafiyah dan Hanif, maafkan Aafiyah kalau ini terdengar mendadak untuk ibu dan Ayah, Hanif itu pribadi santun yang sangat perhatian bu, Aafiyah harap dia bisa jadi pendamping Aafiyah selamanya sampai ke SyurgaNya bu. Sebenarnya Aafiyah sudah ingin menceritakan kepada ibu juga ayah perihal ini jauh sebelum Aafiyah mendapat kan libur dari kampus. Tapi Aafiyah pikir lagi alangkah baik nya untuk mengatakan nya langsung kepada ibu juga ayah, tidak melalui telelpon bu.
Maafkan kalau langkah Aafiyah ini terdengar terlalu terburu – buru. Sebenarnya tidak terburu –buru juga bu, Aafiyah dan Hanif sudah memikirkan ini jauh sebelum Aafiyah balek kampung”. Sembari menutup kalimat panjang tadi Kulihat kembali ibuku dan Ayah, meskipun ayah ku seorang down syndrome sepertinya ayah memahami apa yang aku bicarakan hari ini, ayah terdiam menatap ku, dari mata nya aku melihat ada kebahagiaan juga perasaan takut kehilangan. Aku mengerti sekali tatapan itu, begitu juga tatapan ibu kepadaku. Melihat mereka menatap ku demikian rasanya hati ku juga sebenarnya ragu apakah memang pernikahan ini yang aku dambakan, atau justru, tetapi begitu lah kehidupan ini bukan..? aku akan pergi menikah. Tetapi aku berjanji tidak akan meninggalkan ibu juga ayah setelah menikah nanti, aku akan tetap ada untuk ibu juga ayah. Jarak bukan lah penghalang untuk aku berbakti pada ayah juga ibu setelah pernikahan nanti. Semoga ibu dan ayah dapat memahami situasi ini.
Dengan tersenyum simpul ibu memelukku erat, pelukan nya terasa hangat dan begitu lama, lebih lama dari biasanya ibu memeluk ku. Aku rasakan hangat di pundak ku, apa ibu ku menangis, kulihat wajah ibuku, air mata nya mengalir sembari tersenyum dan memeluk ku kembali. “ ibu lupa kalau Aafiyah sudah besar, sudah akan menikah, ibu menangis bukan karena ibu takut kehilangan anak ibu karena harus ikut dengan suaminya, ibu menangis karena ibu bahagia, semoga pilihan Aafiyah memang yang terbaik untuk Aafiyah dunia Akhirat, kapan mereka datang ke pandai sikek ini nak..?”. “dua bulan lagi bu, setelah lebaran mereka akan datang meminang Aafiyah.” Jawab ku sembari memeluk ibu. alhamdulillah, ternyata kalimat demi kalimat ibu cukup membuatku tenang.
Singkat saja kalimat itu tidak lebih dari 45 kata tetapi begitu dalam makna nya untuk ku pribadi. Dua bulan dari sekarang aku akan di pinang dan menjadi pengantin, ibu Aafiyah tidak akan lupa akan jasa ibu pada Aafiyah, Aafiyah akan sering – sering berkunjung jika sudah menikah nanti batin ku saat melihat ibu berpaling dari arah ku menuju halaman belakang bersama ayah, kulihat ayah dan ibu bercakap – cakap sembari menuju halaman belakang. Cinta mereka sungguh unik, hanya ayah dan ibu yang mengerti cinta diantara mereka dan aku bangga terlahir dari buah ketulusan cinta itu.
Tepat satu minggu aku di pandai sikek ini, itu artinya sudah dekat dengan pernikahan sahabat kecilku, Sofia. Entah aku bahagia atau aku justru sedih, karena bagaimanapun, aku mengetahui bahwa Sofia menikah bukan dengan orang yang dicintainya, tetapi lelaki pilihan Ayahnya. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu, kulihat ibu sedang menjahit celana ayah yang sobek dibagian dengkul nya. “bu, boleh Aafiyah cerita sesuatu..?” . tanya ku pada ibu yang sedang serius menjahit. “ tentu apa yang akan ditanyakan anak gadih ibu ini.
Sembari menatap ku dan meninggalkan jahitan nya. Aku berbaring di pangkuan ibu sembari bercerita tentang perniakahan Sofia yang akan digelar sebentar lagi. “ hemppp... Sofia besok akan menikah bu, tetapi apa ibu tahu kalau ternyata Sofia tidak lah cinta dengan calon suaminya itu bu. Sofia punya pilihan nya sendiri tetapi dia tak berani mengatakan itu pada mamak samsuri. Bagaimana menikah tanpa landasan cinta..? bagaimana menjalani hari – hari berumah tangga tanpa ada getaran rasa diantara dua pasang insan itu bu..?