Balas ku sekenanya, ehh tunggu dulu, apa jawaban ku tadi ada yang salah kah..? ibu menatap ku dalam, dan aku hafal sekali tatapan itu, itu tatapan dari aku kecil sampai sekarang yang tidak pernah berubah jika aku melakukan satu kesalahan, ibu tidak lantas memarahiku, ibu akan menatap ku dalam dan tajam seperti tatapan ibu saat ini ke arah ku. Ku lihat rona muka bu Hasnah juga sepertinya merasa tidak enak mendengar jawaban ku barusan, begitu juga ayah nya Qaira. Baik, baik situasi ini harus aku perbaiki. “mohon maaf, kalau Aafiyah salah ngomong pak bu, Aafiyah memang tidak merasa di repotkan sama sekali, Aafiyah memang suka dengan anak – anak”. Aku mencoba memperbaiki keadaan, sembari melihat ke arah ibu. Ibu memberikan tatapan persetujuan bahwasanya apa yang aku lakukan untuk memperbaiki keadaan dan kecanggungan ini sudah tepat. syukur lah, andai bisa aku mengelus dada tanda lega, maka akan aku lakukan. Situasi canggung ini sepertinya sudah membaik.
“Bu, ayo kita pulang, Qaira juga sudah tidur”. Bisik ku ke arah ibu. Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih, itu artinya kami harus segera mohon diri dari rumah bu Hasnah. Ibu menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang barusan aku bisik kan ke ibu. “baik lah ,ni kami pamit dulu ya ni, hari lah malam, Qaira pun lah lalok kan ni..?”yang artinya (kami mohon diri dulu, hari sudah malam dan Qaira pun sudah tertidur). “ ibu dan aku mohon diri kepada bu Hasnah dan ayah nya Qaira, belum sempat kami melangkahkan kaki beranjak dari ruang keluaga bu Hasnah, tiba – tiba Qaira menggerakkan badan nya dan meraih tangan ku setengah merengek, seperti mengatakan jangan pergi dulu. Kami yang berada dalam ruangan itu pun saling bertatap – tatapan, ibu melihat ke arah ku begitu juga ayah dan nenek nya Qaira.
Aku melihat ke arah mereka dan kembali duduk di sebelah Qaira yang memegang tangan ku erat. Aku meilhat ke arah ibu, sepertinya tanpa aku harus menjelaskan ibu sudah paham maksud dari tatapan ku barusan. “kita disini sebentar lagi ya fiyah, sampai Qaira benar – benar lelap”. Pinta ibu sembari mengangguk tidak menunggu persetujuan ku terlebih dahulu. “iya bu, sebentar lagi Qaira mungkin akan lelap”. Ucap ku ke arah ibu. Hempp... sungguh situasi yang canggung rasanya. Ku lihat ke arah ayah nya Qaira, lelaki yang menurutku berkharisma dan berbudi bahasa baik ini, tidak mungkin tidak ada perempuan yang bersedia untuk di pinang nya menggantikan ibu nya Qaira, karena untuk saat ini itu adalah hal yang sangat Qaira butuhkan. Tapi mungkin juga, lelaki di hadapan ku ini begitu mencintai almarhumah istri nya, sampai dia tidak bisa memikirkan lagi perempuan lain yang bisa menggantikan posisi istri nya itu. Entah lah, apapun alasan nya, aku rasa di balik alasan – alasan itu dia harus juga menjadikan apa yang Qaira butuhkan sebagai pertimbangan. Ku tatap tubuh mungil itu, usianya masih terlalu kecil untuk tahu bagaimana rasanya tumbuh besar tanpa sosok ibu. Ku lihat dalam – dalam Qaira yang begitu sangat merindukan dekapan ibu nya ia menggenggam tangan ku erat seperti tidak ingin melepaskanya barang sebentar pun. Entah lah Qaira, entah apa yang kau rasakan dengan menggenggam tangan ini. tetapi jika itu dapat membuat mu lebih tenang, genggam lah nak, genggam sampai kau tertidur lelap.
“Ni, haa, awak buatkan teh dulu yo ni,(kak,saya buatkan teh dulu ya)” ucap bu Hasnah memecah kesunyian, karena kami tak ada yang berani bersuara di ruangan itu, takut kalau – kalau nanti Qaira justru terbangun mendengarkan celotehan kami di ruangan itu. “ahh, ndak a do ni, alah tu ndak usah sibuk – sibuk bana (ah, gak usah , jangan sibuk –sibuk kali)”. ucap ibuku ke arah bu Hasnah. “siko lah ni, awak ka batanyo ka uni, baa caro masuak ka himpunan adat massyarakat pandai sikek ko ni, yok wak pai kadapua ni (kemari lah kak, saya mau bertanya bagaimana caranya masuk ke himpunan adat masyarakat pandai sikek ini, ayok ikut saya ke dapur).” Bu Hasnah mengajak ibuku kedapur bersamanya, tinggal kami bertiga di ruangan itu dengan Qaira yang masih belum melepaskan genggaman tangan nya dari tangan ku. Ahhh, situasi ini semakin terasa canggung, hempp... benar sekali aku adalah tipe orang yang tidak pandai untuk membuka awal percakapan yang baik. Ini akan jadi situasi yang sangat tidak nyaman pasti untuk ayah nya Qaira, karena aku memang tidak pandai untuk memulai awal percakapan apalagi dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali. “dulu, Qaira sebelum tidur selalu menggenggam tangan ibu nya,”. Ayah Qaira melihat ke arah ku. Entah harus berkata apa aku ke arah nya. “ohh, iya.. iya mungkin dia rindu ibu nya pak,”. Jawab ku sekena nya saja. Karena arti kalimat barusan itu ambigu buat ku. Biasanya Qaira menggenggam tangan ibu nya, dan hari ini dia menggenggam tangan ku. Apa maksud nya adalah...? ahh jangan terlalu berlebihan Aafiyah. Dia hanya menjelaskan tentang kebiasaan Qaira hari ini, itu saja. Huftttttt......aku menghela nafas panjang.
“Tenang saja, saya tidak akan meminta kamu untuk menjadi istri saya dan menggantikan ibu nya Qaira, karena sampai kapan pun ibu nya Qaira tidak akan pernah tergantikan”. Ucap nya ke arah ku tepat tanpa jeda. Apa – apa an ini, pasti ada kesalah pahaman disini, aku juga membantu mereka bukan berarti aku mau menjadi nyonya dirumah ini lantas menggantikan posisi almarhumah ibu nya Qaira. “Ehemp, mohon maaf sebelumnya pak, saya juga sebenarnya tidak tertarik untuk jadi pengganti almarhumah ibu nya Qaira, saya hanya membantu Qaira saja, itupun kalau bapak memang merasa terbantu atas apa yang saya lakukan yang tidak seberapa ini. dua bulan lagi saya akan di pinang dan menikah, saya tulus menolong Qaira untuk mendiamkan nya dari tangis panjang yang tidak sengaja saya dengar dari balik tembok tinggi rumah ini, mohon maaf kalau membuat bapak berfikir kalau saya berharap menjadi istri bapak dan menggantikan ibu nya Qaira, itu juga tidak ada dalam bucket list liburan saya ke kampung ini. saya berlibur kepandai sikek ini untuk melihat ayah juga ibu saya dan menanti hari bahagia saya untuk di pinang lelaki yang memang saya pilih dan dia memilih saya untuk menjadi pendamping nya, maaf kalau saya terkesan maksa menjelaskan ini ke bapak, saya hanya tidak ingin ada kesalah pahaman diantara kita, itu saja. Kalau begini kan sudah jelas kan ya pak”. aku melihat ke arah nya, mempertegas bahwasanya jangan salah menilai kebaikan ku, entah ini kebaikan atau apalah aku juga semakin tidak mengerti, andai saja aku biarkan suara anak kecil itu menangis dari rumah berpagar tinggi ini mungkin aku tidak akan ada di situasi tidak mengenakan ini. situasi canggung yang bahkan jauh lebih canggung daripada perkenalan pertama aku dan Hanif.
Dia tersenyum ke arah ku, aku kenal betul senyuman itu, seakan – akan memberitahukan bahwasanya aku juga sudah salah paham, maksud dari perkataan nya barusan bukan seperti yang aku sangkakan. Dan benar saja jawabannya sungguh mencengangkan, antara menyesal aku datang kemari dan mengenal lelaki menyebalkan ini, bayangkan dia menjawab seperti ini. “sepertinya adek juga salah paham dengan kalimat saya tadi, tapi saya rasa tidak perlu ada yang dijelaskan disini karena kita berdua sama – sama tidak tertarik satu sama lain. ohh ya kalau saya boleh tahu mohon maaf namanya adek siapa..? saya rasa jarak umur kita juga tidak terpaut jauh, saya tidak sebaya dengan ayah saya yang lebih patut di sapa bapak. Jadi saya menanyakan dengan kata tanya adek bukan anak, karena rasanya lebih sesuai jika saya tanyakan begitu kan daripada saya bertanya nama anak siapa..?’. tanya nya ke arah ku dengan tersenyum lebar, inti dari kalimat tanya nya adalah ingin menanyakan nama ku, tetapi dengan kalimat yang menohok sekali rasanya, jadi dia keberatan saat aku memanggil nya bapak. Aku melihat nya tanpa dapat menutupi rasa kesal di wajah ini. “panggil saja saya Aafiiyah, pak. Karena saya canggung kalau harus memanggil abang, untuk orang yang akan jadi calon suami saya saja, saya lebih memilih memanggil namanya. Bukan abang, jadi kalau bapak ingin saya panggil abang dengan memanggil saya adek, itu mustahil akan saya lakukan pak, tetapi kalau bapak lebih suka memanggil saya adek daripada nama saya itu kembali ke bapak”. Jawab ku kesal. Dan dia tahu kalau aku sungguh amat kesal. Aku berusaha melepaskan perlahan genggaman tangan Qaira dari tangan ku. Bukan berarti karena aku kesal dengan ayah nya lantas membalas nya ke Qaira, tetapi aku melihat wajah nya sudah lena dalam tidur, dan ini sudah waktu nya aku mengakhiri percakapan dengan lelaki menyebalkan ini.