Merindu Sewindu

Fitri Handayani Siregar
Chapter #5

#5 Aku Yakin Kali ini Degupan nya Bukan Untuk Azlan..

Entah apa yang ada di pikiran nya sampai bisa sebegitu santai memanggil dirinya dengan sebutan abang. Siapa juga yang akan memanggil nya abang. Aku..? mustahil aku akan memanggil orang asing yang baru dua hari kulihat dan belum ku tahu namanya ini harus kupanggil dengan panggilan abang. Ku lihat ke arah nya tepat sembari menidurkan Qaira dalam pangkuan ku “bapak, jangan berharap banyak, saya akan di pinang dua bulan lagi, dan mustahil saya akan memanggil bapak dengan panggilan abang, saya jadi bertanya – tanya kenapa istri bapak meninggal..? apa karena makan hati melihat perangai suaminya yang seperti ini..? atau bapak tidak memikirkan kuburan istri bapak yang masih basah karena baru sebulan kan..? dan dengan tidak punya hatinya bapak menggoda saya disini sekarang yang sedang berusaha menenangkan anak bapak yang tantrum menangis seperti kesetanan..?.  kata – kata sarkasme itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa rem. Aafiyah apa yang kau lakukan Aafiyah..? tidak pantas rasanya bertanya demikian ke orang yang baru sebulan ditinggal mati istri nya.

 Aku tidak berani melihat ke arah nya, aku tahu kata – kata ku ini adalah kata – kata yang tidak pantas di ucapkan dan sangat menyakitkan hati mendengarnya. Aneh nya ia dengan santai dan masih mencoba menjawab penuh wibawa kata – kata sarkasme ku barusan. “saya fikir kamu punya sense of humor yang lumayan bagus, ternyata dugaan saya salah. tenang saja Aafiyah, saya tidak akan menggoda orang yang sudah dipinang dan akan menjadi istri orang. Satu bulan lebih sudah ibu nya Qaira meninggalkan kami, seperti yang saya sampaikan waktu itu, dia tidak akan pernah tergantikan.” Tutup nya dan melihat ke arah ku sembari tersenyum getir.

“Hempp,, maafkan saya, saya benar - benar minta maaf, saya sama sekali tidak bermaksud berkata demikian, betul sekali saya orang yang tidak punya sense of humor yang bagus. Saya selalu mengaitkan semuanya ke hal – hal yang serius, maafkan perkataan saya barusan”. Hiks aku merasa sangat bersalah mengatakan hal yang sedemikian kejam tadi ke ayah nya Qaira, ternyata kehilangan orang yang sangat ia kasihi tidak membuatnya lantas jadi kehilangan akal, membuatnya nya jadi tidak waras dan menyebalkan bahkan kurang ajar seperti dugaan ku. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk menggodaku, itu adalah bagian dari tata pembuka percakapan, yang sama sekali aku tidak ahli dalam hal itu, ternyata sense of humor ku masuk dalam kategori buruk. Syukurlah dia tidak menaruh hati atas kata – kata ku barusan. Ponselku berbunyi, sembari melihat ke arah nya aku berharap ia bisa menggantikanku sebentar untuk menggendong Qaira, sulit untuk aku mengambil ponsel yang ada dalam tas kecil yang ku tenteng sejak tadi. Dia paham apa yang harus di lakukan, ia mengambil Qaira dari pangkuan ku. “sebentar ya” aku tersenyum ke arah nya dan berusaha mengambil ponsel dari dalam tas ku.

Ternyata panggilan video dari Hanif, kenapa harus sekarang sih Hanif, ini saat yang kurang tepat menurut ku. Semoga saja di belakang balai adat ini juga berlimpah signal seperti di spot paforit ayah dan ibuku di rumah. “ asssalammualaikum, iya nif.  Sapaku ke arah depan kamera ponsel berusaha untuk menstabilkan signal yang naik turun. Aduh aku jadi keki begini ya, karena harus menerima panggilan video dari Hanif di hadapan ayah nya Qaira. Aku berusaha menjauh beberapa langkah tetapi justru signal nya malah menurun, ya Allah kenapa di dekat kursi ini justru signal nya stabil, ini hanya berjarak 5 langkah saja dari ayahnya Qaira, kenapa dengan ayah nya Qaira ini ya kenapa dia tidak beranjak pergi atau sedikit menjauh. “waalaikumsalam , tuan putri pandai sikek, jadi gimana memilih datang ke pesta nya Sofia atau..? tapi kalau dari dandan nya sama baju nya kayak nya pergi ke pesta nya Sofia kah.?”

Hanif menebak – nebak dari apa yang aku kenakan hari ini. aku melihat ke arah ayah nya Qaira yang tidak bergeming sama sekali. Ia masih duduk manis disana. “hemmp, iya aku fikir lebih baik aku datang kan, tapi tadi sekilas aku lihat kayak nya suaminya baik deh, sabar, soalnya beberapa kali aku lihat dia berusaha ngajakin Sofia ngobrol, kasih tissue, kasih minum ya meskipun semuanya di tolak sama Sofia, ehhmm Hanif.. tapi boleh vc aku lagi gak nif.. hempp 1 jam lagi lah, aku masih di lokasi pesta nya nih jadi kurang fokus aku nya”. Semoga saja Hanif setuju karena rasanya canggung sekali saat berbicara dengan orang terdekat mu ada orang yang seperti sedang memata- matai mu di sebelah sana.

“Yah... baru juga sepersekian detik aku lihat muka calon istri aku, udah mau udahan aja, kalau gitu aku halalin seminggu lagi aja deh, aku lamar seminggu lagi aja ya..? ia tesenyum ke arah ku, ya Allah kalau saja Hanif tahu bahwasanya bukan Cuma aku yang dengar apa yang dia sampaikan barusan, tapi ada orang asing yang juga ikut curi dengar yang jarak nya hanya 5 langkah dari tempat aku berdiri sekarang. Ya udah, satu jam lagi aku vc ya, ternyata dua bulan itu lama ya, kalau tahu gitu kemaren pas kita ketemu papa mama aku di German mending aku bilang seminggu lagi aja lah ma kita lamar puteri dari pandai sikek ini. baik lah calon Ny, Hanif aku tutup ya telepon nya, Assalammualaikum..”. fiuhhh, Akhirnya, rasanya aku tidak punya muka untuk menatap ke arah ayah nya Qaira. “hempp, bapak masih mau duduk disini dulu atau mau ke dalam..? soalnya saya mau kedalam nyusulin ibu”.

Aku sengaja mengalihkan situasi agar tidak ada pembicaraan pembuka yang membahas apa yang dia curi dengar tadi pada saat panggilan video aku dan Hanif.“ boleh, saya juga mau ke dalam nyusulin nenek nya Qaira, Qaira juga sudah tidur mungkin kami bisa pulang. Jangan panggil saya bapak, kalau tidak enak memanggil saya abang, nama saya Azlan. Panggil saja saya uda Azlan, uda pengganti kata abang kan dalam bahasa minang..?. dia berlalu di hadapan ku terlebih dahulu, aku berjalan tepat di belakang nya yang menggendong Qaira yang mengenakan gaun berwarna biru tua senada dengan jas yang ia kenakan. Ya Allah, apa sebegitu buruk nya kah sense of humor ku, saat mendengar kalimat nya barusan, bukan nya malah ingin tertawa, aku lebih ingin mengulang kata – kata sakrkasme ku tadi. Aku hanya bisa memandangi punggung nya dari belakang dan berharap bisa segera masuk dan membaur dengan tetamu yang hadir di balai adat ini.

Lihat selengkapnya