Kulihat ia yang begitu lahap makan gulai ayam buatan ibuku. “sayang nya, anak gadis ibu Cuma Aafiyah saja ya bu, kalau ada satu lagi sudah saya lamar jadikan istri bu, kalau ibu nya saja bisa memasak seenak ini, pasti anak nya juga kan..?” . entah apa maksud dari kata – kata nya barusan, aku menatap nya kesal, tidak usah lah berandai – andai karena biar bagaimana pun dia tahu kalau aku anak semata wayang alias satu –satu nya disini, ku lihat ke arah nya yang lagi – lagi selalu tersenyum dengan senyuman yang sama, senyuman yang sangat amat membuat ku kesal berkepanjangan. Entah kenapa kali ini ibu memilih untuk menjawab pertanyaan tepat nya pernyataan dari ayah nya Qaira, biasanya ibu hanya akan tersenyum ala kadar nya mendengar celotehan ayah nya Qaira. “Allah maha baik nak, satu anak gadis pun ibu sudah bersyukur, seandainya Allah hadiahkan ibu dua anak gadis, yang satu nya akan ibu relakan menjadi istri nak Azlan.” Tutup ibu ku sembari tersenyum.
Dia pun tersenyum menyambut apa yang baru saja ibuku utarakan. Ku lihat ke arah ibu. Ibu balik melihat ke arah ku dan tersenyum. Selesai sahur kami masih bercengkrama di meja makan, ku rapikan piring kotor dari meja makan. “perlu bantuan..?” tanya ayah nya Qaira padaku. “No, Thank you”. Jawab ku ketus. “baiklah, kalau gitu, Uda ehh saya bantu lihat aja.”. ku lihat ke arah nya sembari menyusun piring kotor ke dalam baskom besar yang akan ku cuci dikeran belakang rumah, jangan bayangkan tempat cuci piring di rumah ku dengan wastafel besar dan pernak pernik nya, hanya ada baskom besar untuk menampung air dan aku harus duduk di kursi kecil agar tidak terkena air yang sengaja di bilaskan ke piring – piring yang akan di cuci nantinya. “boleh angkatkan ini ke belakang.”
Dengan senang hati ia mengangakat piring yang ada di dalam baskom besar yang sudah ku kumpulkan dari meja makan sisa – sisa dari kami makan sahur tadi. “ya, kamu boleh ke depan ke tempat ibu sama ayah disana.” Tunjuk ku ke ruang depan dan mulai mencuci piring di keran belakang. “kamu gak mau di temenin..?Ya Allah, mau bantu apa coba dia, mau bantu mecahin piring – piring ini, batin ku. “gak perlu, saya berani kok sendiri. Lagian dua orang yang bukan muhrim gak boleh berdua – dua an, karena yang ketiga setan.” Aku meneruskan mencuci piring. “ini kan bulan puasa semua setan – setan di belenggu.” Jawab nya seadanya. “siapa bilang semua..? tuh masih ada yang berkeliaran.”. aku menunjuk kearah nya, bukan nya marah, ia malah tersenyum.
“Ya, sudah kalau begitu, saya juga mau siap – siap ke masjid solat subuh, biar gak dikatain setan lagi.” Dia berlalu pergi meninggalkan ku yang masih sibuk mencuci piring. Aku tersenyum puas ke arah nya. dan menyelesaikan mencuci piring – piring ini segera sebelum adzan subuh berkumandang. Hal - hal kecil ini yang sangat akan aku rindukan nantinya, sederhana tapi kaya makna, bertahun – tahun dulu kami selalu dekat bersama di setiap sudut rumah ini, ibu akan mencuci piring di sini, sementara aku dan ayah akan mengutip telur ayam kampung ataupun bebek dari kandang nya. setelah semuanya selesai kami akan lanjut membereskan rumah bersama – sama. Tugas pertama ku adalah menyapu rumah dan halaman depan sampai ke belakang. Ayah bertugas untuk memarut kelapa dan mengepel rumah dengan sisa dari ampas kelapa tersebut, itu sebelum rumah panggung yang di belakang di renovasi dan di pasangi keramik, dulu cara kami mengepel rumah dengan ampas kelapa bekas yang di gosok kan ke lantai kayu. Guna nya agar kayu tidak cepat lapuk.
Adzan subuh sudah berkumandang, ayah nya Qaira dan ayah ku juga ibu bergegas menuju Musholla, tinggal aku dan bu Hasnah saja yang ada di rumah, sebenarnya aku ingin solat berjamaah juga di Musholla, entah kenapa perut ku tidak dapat diajak kompromi, tiba – tiba sakit dan sudah dua kali aku bulak balek masuk kamar mandi. Setelah agak enakan, ku susul bu Hasnah di depan ruang tamu yang sedang menggendong Qaira yang tertidur pulas di gendongan nenek nya itu. “kita pindahkan ke kamar Aafiyah saja bu Qaira nya, biar kita bisa solat subuh disini.” Aku dan bu Hasnah memindahkan Qaira ke kamar ku. Ia masih tertidur pulas di kasur ku. Aku dan bu Hasnah solat subuh bergantian. Takut kalau – kalau Qaira terbangun dan jatuh dari tempat tidur ku yang lumayan tinggi. Selesai solat subuh bu Hasnah tiba – tiba mengelus rambutku. “dari dulu ibu selalu ingin punya anak perempuan, anak ibu ada 3 lelaki semua, semuanya sudah menikah dan tinggal di kota yang beda – beda, dan Allah maha baik sekali, ibu di kasih cucu perempuan dari Azlan, kalau dari abang – abang nya Azlan cucu ibu dua lelaki juga.” Pandangan nya jauh menerawang, seakan ia sedang mengingat – ingat anak – anak lelaki nya satu persatu. “iya, kan sekarang ibu jadi punya anak perempuan, punya 3 menantu perempuan kan. Ohh, maaf dua menantu setelah ibu nya Qaira meninggal.” Aku memeluk bu Hasnah. Bahu ku hangat dan basah, apa mungkin bu Hasnah menangis. Tanya ku dalam hati.
“Kok ibu jadi sedih, maafin Aafiyah bu, Aafiyah tidak bermaksud mengingatkan ibu ke almarhumah ibu nya Qaira. Ibu nya Qaira pasti orang baik, sampai menetes air mata ibu mengingatnya.” Aku mengusap air mata di pipi perempuan yang baik hati ini. lagi – lagi pandangan bu Hasnah jauh menerawang. “iya memang sangat baik, menantu ibu yang paling baik. Dulu Azlan itu tidak pernah bersedia ibu jodohkan dengan ibu nya Qaira, Nilam, nama ibu nya Qaira itu Nilam. Tapi entah apa alasan Azlan setelah pertemuan pertama mereka Azlan setuju untuk menikah dengan Nilam. Ibu sangat bahagia waktu itu termasuk seluruh keluarga kami abang – abang nya Azlan, begitu pun dari keluarga nya Nilam ini. tapi kebahagiaan kami tak lama Aafiyah, sebulan setelah menikah Nilam sakit, entah apa sakit nya waktu itu dokter tidak bisa mendiagnosa, sampai kami pergi ke luar negeri untuk berobat pun, sakit dari Nilam tidak pernah terdiagnosa, makin hari badan nya makin kurus, selera makan nya menurun drastis. Di bulan yang sama Nilam hamil. Hamil Qaira, antara bahagia, sedih, senang, takut bercampur aduk hari itu. Karena disaat yang sama Dokter juga memberikan kabar menakutkan. Hanya boleh mempertahankan salah satu nya ibu atau anak nya, karena sakit yang di derita Nilam. Selama 7 bulan sampai melahirkan Nilam selalu ada di rumah sakit dalam pengawasan penuh dokter. Nilam memutuskan untuk mempertahankan bayi nya. alasan nya sampai hari ini masing terngiang – ngiang di telinga ibu.
Dia bilang pada saat ibu peluk dia setelah ibu tahu kalau dia hamil dan harus memutuskan siapa yang akan di pertahankan. Bu, hapus air mata ibu, Nilam gak mau lihat ibu menangis, ini hari bahagia kita bu, ibu akan punya cucu. Nilam sudah melihat indah nya dunia ini, tapi anak Nilam belum bu, kasih lah dia harapan untuk dapat melihat dunia ini bu. Dia berhak untuk hidup bahagia bersama ayah dan nenek nya yang baik hati ini bu. Izinkan Nilam merasakan menjadi ibu dan wafat sebagai ibu. Sayangi anak Nilam seperti ibu sayang ke Nilam ya bu.”. bu Hasnah tak dapat melanjutkan kalimat nya, ia memeluk ku erat. Ia menangis dalam pelukan ku. Ku dengar dari arah depan ibu ku, ayah dan juga ayah nya Qaira sudah pulang solat subuh berjamaah dari Musholla.
Bu hasnah segera menghapus air mata di pipi nya. tapi mata sembab nya tidak bisa dibohongi, kalau ia baru saja menangis. Aku beranjak dari kamar dan akan membukakan pintu depan. “tunggu nak,” bu Hasnah meraih tangan ku dan memeluk ku erat. “semoga ibu tidak kehilangan dua kali anak perempuan yang ibu sayang seperti anak sendiri.”ia menatap ku dalam. Aku tidak paham apa maksud perkataan bu Hasnah barusan. Sedaangkan Ibu ku sudah memanggil – manggil di depan pintu meminta untuk segera ku buka kanpintu untuknya. Ku tatap bu Hasnah dan jujur aku masih tidak mengerti apa maksud dari perkataan nya tadi. Aku tersenyum ke arah bu Hasnah dan melepaskan genggamannya dari tangan ku. Tepat di depan pintu ayah nya Qaira menatap ku.
Entah apa yang terjadi subuh itu, tiba – tiba hati ku bergetar saat melihat nya. aku tidak paham ini getaran apa, tapi bisa ku pastikan getaran ini tidak ada sebelumnya saat aku menatap Hanif. Ku alihkan pandangan ku dari ayah nya Qaira. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan setelah nya. iya, duduk. Mungkin aku harus duduk agar rasa yang sepertinya menyentrum dari ujung kaki ke kepala ini dan terasa sekali di jantung ku, debaran nya bisa sedikit mereda. Aku memilih untuk duduk di kursi ruang tamu, tetapi debaran nya tidak juga mereda, apa aku sakit jantung tanyaku dalam hati..? kembali ku pegangi dada ini dan ku arahkan tangan ku ke jantung dan memastikan debaran nya akan mereda. Tidak juga debaran nya tidak berkurang sama sekali. Ku lihat ke arah ayah nya Qaira. Ia menggendong Qaira dari kamar ku. Ia tersenyum ke arah ku dan berpamitan pulang. Ya Allah debaran nya begitu terasa. Sakit sekali rasanya, seperti ada yang membuatnya memompa darah ke jantung ku dengan cepat.