Merindu Sewindu

Fitri Handayani Siregar
Chapter #10

#10 Hari Pernikahan ku Tiba

“Bu, Apa Aafiyah salah bu kalau... kalau Aafiyah...” rasanya aku tidak sanggup untuk memberitahukan apa yang aku rasakan dan juga yang ayah nya Qaira katakan padaku sore tadi ke ibu.

“Aafiyah, sini lihat ibu, Aafiyah bisa cerita semua yang Aafiyah rasakan ke ibu nak”. Ibu meraih tangan ku. Dan meyakinkan ku untuk mengatakan apa yang sebenarnya menggangguku sejak tadi. “Aafiyah bingung bu, Aafiyah gak tahu lagi sekarang dengan perasaan Aafiyah, Aafiyah juga merasakan apa yang ayah nya Qaira sampaikan sore tadi ke Aafiyah bu, tapi disatu sisi Aafiyah tidak mau kalau Hanif dan keluarganya tersakiti bu. Aafiyah tidak mau kalau ada yang tersakiti bu, kalaupun ada yang patah hati dan sakit biar Aafiyah bu, Aafiyah yang akan menanggung semuanya bu.” Aku terisak- isak bercerita kepada ibu tentang perasaan ku kepada ayah nya Qaira dan juga Hanif. Serta apa yang disampaikan oleh ayah nya Qaira sore tadi padaku semakin membuat perasaan ku rasanya berkecamuk.

Ibu menatap ku dalam dan bertanya satu pertanyaan yang seharus nya sebelum menerima pinangan Hanif aku menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri. Ibu bertanya “apa Aafiyah benar – benar sayang dan cinta dengan hanif..?” pertanyaan ibuku barusan tidak mampu aku jawab, sejak awal aku menjalin hubungan dengan Hanif, aku percaya satu hal bahwa kenyamanan adalah kunci semuanya. Jika bersama Hanif aku nyaman, maka cinta pun akan datang belakangan. Cinta, rasa sayang akan sedikit demi sedikit dapat terpupuk dalam perasaan ku untuk Hanif karena aku sudah merasa nyaman dengan nya. satu hal itu saja yang aku percaya.

Aku melihat ibu yang bertanya demikian ke arah ku. “Aafiyah nyaman bu dengan Hanif, dia laki – laki yang sangat menghormati perempuan bu, jangan kan untuk memegang tangan Aafiyah, memandangi Aafiyah lebih dari semenitpun pun Hanif tidak pernah bu, jarang ada lelaki di zaman sekarang yang mampu menundukan pandangan nya di German negeri dengan kebebasan berfikir dan bertindak, jika senang siapa saja bisa hidup satu atap tanpa ikatan, Aafiyah nyaman dengan Hanif bu.”. ku peluk ibuku erat. Ibu balas memeluk ku erat. Di seka nya airmata di pipi ku. “sekarang ibu mau tanya Aafiyah jawab ibu dengan jujur, Aafiyah sayang cinta kan Hanif atau hanya nyaman dengan Hanif saja..?”

Ibu menatap ku serius kali ini. “Aafiyah gak tahu bu, cinta dan sayang itu seperti apa bu, apakah kenyamanan yang Aafiyah rasakan dengan Hanif itu bisa dikatakan cinta, atau saat Aafiyah merasa jantung Aafiyah berhenti mendadak saat Aafiyah melihat ayah nya Qaira dan merasa ada yang hilang saat Aafiyah tidak mendengar kabarnya itu yang dikatakan cinta bu, Aafiyah gak bisa membedakan perasaan yang Aafiyah rasakan sekarang ke mereka berdua bu, apa Aafiyah jahat bu, disaat akhir – akhir menuju ke pelaminan Aafiyah malah merasakan hal yang demikian ini bu..? Aafiyah jahat ya bu..?” ku peluk ibuku erat.

Ibu menatap ku dalam, “kali ini Aafiyah hanya punya satu pegangan, tanyakan ke Allah, minta yang terbaik kepada yang maha baik, minta diberikan petunjuk kepada sang Maha pemberi petunjuk, hanya Allah tempat kita bergantung nak, minta ke Allah diberikan jalan keluar atas apa yang Aafiyah rasakan, hanya Allah yang dapat membantu Aafiyah nak.” Ibu menyeka kembali airmata ku. “pesan ibu, apapun yang hati kecil Aafiyah katakan setelah meminta pada Allah lewat sholat istkharah nanti, jalankan nak, ikuti kata hati Aafiyah.” Dekapan hangat ibu sungguh membuat ku tenang, membuatku tidak merasa menjadi pemeran antagonis dalam skenario kehidupan ku kali ini. Iya ibu benar hanya Allah yang dapat memberikan kemantapan hati, kemantapan pilihan. Termakasih ya Allah Engkau memberikan aku ibu yang begitu hebat dan selalu melibatkan Allah dalam hidup nya.

Ku niatkan nanti malam aku akan sholat Tahajud berikut istikharah, aku akan meminta kepada Allah untuk diberikan kemantapan hati dalam menentukan calon imam ku, bukan hanya penentuan sebatas aku suka atau tidak, aku nyaman atau tidak, aku cinta atau tidak, melainkan dia imam yang Allah pilihkan untuk ku dalam menjalani bahtera rumah tangga ini sampai ke Jannah Nya. ku pandangi langit malam ini, ibu sudah bersiap akan pergi melaksanakan sholat taraweh bersama ayah, ibu membawakan mukena ku. “ayuk nak, sudah Adzan Isya, tempat yang paling menenangkan hati di dunia ini hanya rumah Nya.” ibu menunjuk ke arah Musholla di desa ini. ya dimanapun aku berada hanya masjid lah tempat ternyaman yang pernah ku datangi setelah rumah, rasanya berada di Masjid saat di German itu seperti berada di itempat yang paling bisa kau andalkan untuk dapat menenangkan hati, berbicara langsung dengan pencipta mu, berinteraksi dengan orang – orang dari berbagai belahan dunia yang terpanggil untuk menunaikan kewajiban nya kepadasang pemberi kehidupan.

Aku mengangguk ke arah ibu dan meminta izin untuk mengambil wudhu terlebih dahulu. Semenjak sore itu aku tidak pernah bertemu atau pun sekedar bertanya kabar lewat WhatsApp baik dengan Hanif ataupun ayah nya Qaira. Sore itu hujan sangat lebat mengguyur Pandai Sikek, Semoga saja kali ini aku tidak bertemu dengan ayah nya Qaira dulu, aku belum siap untuk menatap nya setelah sore itu.

Benar saja, setelah sholat taraweh selesai aku tidak melihat ayah nya Qaira keluar dari bagian shaf laki – laki menuju pintu keluar Musholla. Tetapi ada satpam penjaga rumah mereka yang datang sembari menyapa ibuku. “baru dapek awak basobok jo uni samo Uda ma, lah malam ka duo puluh ndak ni (baru ini saya dapat bertemu dengan kakak dan abang loh, padahal udah malam ke dua puluh aja)”.  Dijawab dengan senyum oleh ibuku ke arah satpam penjaga dirumah ayah nya Qaira. “Pak Azlan nyo pai ka Malaysia sampai hari rayo ko kecek nyo ni, ka pai karumah Uni patang tu, tapi hujan labek, jadi di titip di awak ado parcel jo hadiah untuak Uni samo Aafiyah kalau ambo ndak salah ni ( Pak Azlan berangkat ke malaysia sampai lebaran masih disana, ohh iya ada parcel untuk kakak dan aafiyah). Mendengar penjelasan dari satpam rumah mereka, rasanya peristiwa sore tad masih membekas di ingatan ku. Berarti sore itu adalah sore terakhir aku bertemu dengan ayah nya Qaira. Bisa jadi sore itu adalah sore perpisahan, tetapi kenapa ia tidak memberikan aku kesempatan untuk sekedar bertanya atau menajwab apa yang ia utarakan. Kenapa ia meninggalkan aku begitu saja tanpa diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu. Satpam dari rumah mereka mengantarkan parcel dan beberapa kado untuk ku dari bu Hasnah dan ayah nya Qaira. Ada kado yang bertuliskan nama ku di sana.

Ibu melihat ke arah ku, dan memberikan dua buah kado yang bertuliskan nama ku. Ada perasaan aneh yang kurasakan saat melihat dua buah kado itu yang satu bertuliskan dari bu Hasnah dan satu lagi dari ayah nya Qaira, itu tandanya mereka tidak akan hadir di acara pernikahan ku nanti. Ada perasaan sedih yang tidak bisa ku utarakan saat melihat kado itu ada di atas tempat tidur ku. Ada sakit yang aku rasakan, entah bagaimana rasanya menjadi ayah nya Qaira dalam mempersiapkan kado ini. ku bacca kartu ucapan dari bu Hasnah, disana tertulis “selamat menempuh hidup baru nak, semoga keluarga Aafiyah kelak menjadi keluarga yang Allah ridoi dan Allah berkahi, maafkan ibu mungkin tidak bisa hadir di accara pernikahan Aafiyah nanti”. Membacanya air mata di pipiku menetes, ku buka kado yang diberikan bu Hasnah, isi nya seperangkat peralatan masak berwarna hijau tosca, sepertinya ini khusus di tempah bu Hasnah untuk ku, di setiap perlengkapan masak itu tertulis nama ku Aafiyah dengan tinta berwarna emas, ya aku sangat menyukai warna hijau tosca selain warna biru. Ku tatap kado di sebelah ku dari ayah nya Qaira, rasanya tidak sanggup untuk membuka nya sekarang, tetapi aku sangat penasaran akan isi nya.

Lihat selengkapnya