Merindu Sewindu

Fitri Handayani Siregar
Chapter #12

#12 Demi Martabat Ku Azlan Menikahiku Hari Itu Juga

Ia menatap tajam ke arah Hanif dan menunggu jawaban dari Hanif, dan jujur dari hati yang paling dalam aku juga menantikan apa jawaban dari Hanif, apakah ia akan tetap melanjutkan pernikahan ini tanpa restu ibu nya atau justru sebaliknya..? “kalau kamu lebih milih pernikahan ini, jangan anggap mama masih ada di dunia ini, anggap aja mama udah mati”. Ibu nya memberikan ultimatum secara tidak langsung kepada Hanif. Hanif hanya terdiam seribu bahasa air mata nya jatuh, ia menatap ku yang di dekap ibu.

Ini kali pertama Hanif menyentuh tangan ku, selama kami saling mengenal satu sama lain, sebelumnya kami tidak pernah berjabat tangan. Air mata nya tumpah begitupun aku. Ia melihat ke arah ibu dan ayah. “maafin aku Fii, maafin aku.. aku gak mungkin memilih antara kamu atau mama, saya minta maaf atas nama keluarga saya bu, tidak pantas kata –kata seperti itu di ucapkan oleh mama saya ke ibu dan ayah.” Ia membalik kan badan nya seraya membelakangi ku. Hati ku hancur melihat tangis yang pecah dari Hanif. Setahu ku ia lelaki tangguh nan baik hati. Tetapi hari ini yang seharusnya menjadi hari bahagia nya, tangis itu tidak dapat ia bendung lagi. “saya akan memastikan ini sekali lagi, apakah kamu betul – betul tidak ingin pernikahan ini di lanjutkan..?” tanya ayah nya Qaira pada Hanif. Hanif hanya terdiam dan membelakangi ku. Ia menyeka air matanya dan berlalu pergi dengan rombongan keluarganya.

Ku lihat senyum puas di wajah ibu nya. ternyata anak yang ia besarkan memang anak yang sangat patuh akan apapun yang ia perintahkan.”tunggu dulu, sebelum rombongan keluarga mempelai laki – laki yang sombong ini pergi dari balai adat ini, saya sebagai lelaki tidak akan memakai satu sen pun uang yang sudah ibu keluarkan untuk pernikahan ini, silahkan sebut berapa nominalnya dan detik ini juga akan saya bayarkan.” Dengan lantangnya ayah nya Qaira menahan langkah ibu nya Hanif untuk keluar dari balai adat ini segera.

Dengan sombong nya ia mendatangi ayah nya Qaira, ia berjalan dengan mantap ke arah kami yang berdiri dengan gontai di dekat meja penghulu. “kamu”. Ia menunjuk ke arah wajah ayah nya Qaira dengan tatapan sinis dan melanjutkan kalimatnya “gak akan mampu mengembalikan uang yang sudah saya keluarkan untuk pernikahan ini. gak usah sok – sok punya harga diri deh, saya ikhlas semua fasilitas ini kalian pakai, asal anak saya tidak jadi menikah dengan anak dari si idiot ini.” dengan tanpa belas kasih nya ia menunjuk ke arah ayah ku. “sebutkan saja berapa nominal nya dan ke rekening mana harus saya transfer, satu permintaan saya, setelah semua ini saya bayar dua kali lipat, saya mau ibu dan seluruh rombongan keluarga ibu melihat ijab kabul ini sampai selesai, setelah itu kalian semua boleh pergi dari pandai Sikek ini”.

Ayah nya Qaira seperti menahan amarah yang sangat membuncah, terlihat dari geraman gigi nya dan nada suara nya yang tidak seperti biasa. Tetapi itu semua dianggap santai oleh ibu nya Hanif, dengan wajah tidak merasa bersalah ia tersenyum mengejek ke arah ayah nya Qaira. “baiklah tuan yang punya harga diri, sudah cukup lah lagak kamu ke saya. Ok. Dua ratus juta kamu sanggup bayar..? gak usah dua kali lipat deh cukup dua ratus juta nya aja, baru sukses bertani di kampung aja udah belagu.” Ibu nya Hanif kembali mengolok – olok ayah nya Qaira.

Ayah nya Qaira hanya membalas dengan senyum sinis ke arah ibu nya Hanif. Ia menelepon seseorang dari ponsel nya. “baik, nomor rekening nya..?” singkat saja ayah nya Qaira menanggapi olok – olokan ibu nya Hanif tadi. Dengan senyum sinis tidak percaya ia memberikan nomor rekening nya. “itu nomor rekening nya dit, trasnfer 400 juta setelah saya fikir – fikir kenapa harus 600 juta untuk orang yang sudah menghancurkan hidup anak nya, 400 juta saja saya rasa sudah cukup, bagaimana sudah berhasil di transfer..?” tanya nya dari sambungan telepon. Ibu nya Hanif sibuk mengecek ponsel nya antara percaya dengan tidak ia mungkin melihat saldo tabungan nya bertambah sejumlah 400 juta rupiah. Ia menatap ke arah ayah nya Qaira kesal. “seperti yang saya sampaikan tadi, ibu dan rombongan keluarga ibu harus menyaksikan ijab kabul ini sampai selesai, setelah itu ibu boleh pergi meninggalkan ruangan ini karena sudah saya bayar dobel kan..?.”

Lihat selengkapnya