Bisa – bisa nya ia tertidur di situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya ini dengan nyenyak pula.
Bukah kah, ia membayangkan bahwa aku akan menikah dengan Hanif, dan ia akan kehilangan aku untuk selama – lamanya, pantas saja ia bisa tertidur lelap malam ini karena mungkin perasaan nya lega berhasil mempersuntingku hari ini menjadikan tidur nya malam ini nyenyak. Kalau di lihat – lihat ayah nya Qaira ini tdak jelek juga, wajah nya khas sekali kulitnya sawo matang bersih, alis mata nya tebal tidak jauh beda dengan alis mata ku, dan bibirnya merah merona yang menandakan sepertinya ia tidak pernah merokok sebelumnya. Hidung nya juga lumayan mancung, ahhh, tidak jelek lah untuk ukuran lelaki beranak satu. Aafiyah ada apa dengan mu, apa kau mengaguminya diam – diam selama ini..? ayoo, Aafiyah pejamkan mata mu.
“udah cukup mandangin nya, ini jantung gak berhenti berdegup di buatnya, mau buat Uda bangun semalaman ya..?” ia bercakap – cakap dengan mata tetap tertutup, dan tentu saja aku kaget bukan kepalang dibuatnya, darimana ia tahu aku sedang memandangi nya sedari tadi. Aku berbalik arah karena ketahuan sedang memandangi nya dan mencoba untuk tidur nyenyak juga malam ini. meskipun terkadang aku juga memikirkan Hanif yang hancur hari ini oleh ulah ibu nya sendiri.
Entah jam berapa aku tertidur tadi malam, rasanya berat sekali, ku dengar suara adzan subuh berkumandang di Musholla yang tidak jauh dari rumah ku. tetapi berat sekali rasanya untuk membuka mata dan segera mengambil air wudhu ke kamar mandi. Rasanya seperti ada orang yang memercikan air ke wajah ku dengan tangan nya. ku buka mata ku perlahan, ya... benar saja ayah nya Qaira memercikan air dengan tangan nya ke wajah ku, ia sudah bersiap akan sholat subuh ia sudah ready dengan berbaju koko lengkap memakai sarung yang sudah dikenakan dengan rapi. “kebiasaan dibangunin subuh ya..? alarm nya gak bunyi kah subuh ini..?”tanya nya ke arah ku yang hanya berjarak dua centi saja dari wajah ku. “ishhh,apaan sih... aku mendorong nya menjauh dari depan wajah ku yang hanya berjarak dua centimeter saja, biasanya bangun kok, ini karena tidur nya kemaleman aja.”
Aku langsung bergegas duduk di tepi tempat tidur ku dan bersiap – siap untuk mengambil wudhu ke kamar mandi. “kenapa..? gak kuat jalan ke kamar mandi, mau Uda gendong..?” tanya nya menggoda ke arah ku. Rasanya pertanyaan nya barusan tidak perlu untuk di jawab, aku bergegas mengambil wudhu ke belakang. Aku bersiap – siap mengenakan mukena dan menyusul ayah juga ibu dan ayah nya Qaira ke ruang tamu yang sedang bersiap – siap subuh berjamaah di Musholla, tetapi langkah kami terhenti karena tiba – tiba hujan turun membasahi pandai sikek subuh ini.
Kami melaksanakan subuh berjamaah di rumah, dengan di imami oleh ayah nya Qaira. Rasanya hati ku bergetar saat melihat ia mengimami solat subuh kami hari ini, bacaan nya sungguh fasih sekali, entah apa yang membuat ku meneteskan air mata subuh ini, rasanya bahagia sekali, sholat berjamaah dengan suami sebagai imam nya. dan disana ada ibu juga ayah ku yang menjadi makmum nya.