Akhirnya pakaian yang akan dibawa oleh ayah nya Qaira sudah siap dengan rapi di dalam travel bag nya. “huffft, akkhirnya selesai juga, udah jam 12 malam. Hampir dua jam juga ngebersin baju yang gak seberapa ini” Aku mengoceh sendiri. “Uda tinggal sebentar ya, ada yang mau uda ambil di kamar lain, kalau mau tidur gak usah tunggu Uda, tidur duluan aja.”pesan nya dan berlalu pergi meninggalkan aku sendiri di kamar nya. Rasanya mata ku sudah tak bersahabat, aku ingin segera tidur. Ku buka hijab penutup kepala ku. ku basuh muka dengan air wudhu, semenjak aku berusia baligh atau dewasa, kebiasaan ku untuk tidur dalam keadaan tetap berwudhu sampai hari ini masih aku lakukan. Rasanya ada yang kurang jika tidur malam, tetapi aku belum berwudhu.
Tidur yang sungguh maksimal malam tadi, subuh ini aku yang bangun terlebih dahulu daripada ayah nya Qaira, ku lihat ia masih tertidur pulas, jam berapa ia masuk dan tidur tadi malam ya..? tanya ku dalam hati. Ku pandangi wajah nya sebentar. Rasanya ingin ku balas memercikan air ke wajah nya tetapi subuh ini pandai sikek sangat dingin sekali. Tidak tega rasanya. Baiklah, ku bangun kan saja ia perlahan dengan menepuk lembut bahu nya. “Da, Uda... subuh.” Aku berusaha membangun kan nya yang masih terlelap. “Da, udah adzan Subuh, bangun da, tadi malam tidur jam berapa sih sampai susah sekali bangun subuh nya..?” tanya ku sambil tetap menepuk pundak nya lembut agar ia segera terbangun.
Dengan suara parau khas bangun tidur ia menjawab. “gak tahu nih tidur jam berapa, kelamaan mandangin Aafiyah tidur semalamam Uda.” Jawab nya sembari membuka mata dan tersenyum ke arah ku. Aku hafal senyum itu dan aku harus kembali waspada dan berlalu pergi sebelum hanyut dalam suasana. “ambil wudhu solat subuh, terus kita siap – siap Da, kita pesawat pagi ” Aku meninggalkan nya di tempat tidur dan bersiap – siap untuk Solat subuh berjamaah.
Pagi –pagi sekali kami harus berangkat ke Bandara di kota Padang. Karena pesawat ke Jakarta berangkat pagi dari Padang. Ku salami ibu dan ayahku. Air mata masih mengalir di pipi ku. begitupun ibu dan ayah air mata mereka mengalir melepas ku yang juga akan berangkat ke German setelah dari Jakarta menjalani acara walimahan di keluarga Azlan disana. Karena melihat ku menangis Qaira yang di gendong oleh pengasuh nya juga ikut menangis digendongan pengasuh nya. ku ambil Qaira dari pengasuh nya. berusaha untuk ku diam kan dari tangis nya. tiba – tiba ayah nya Qaira membuat buyar suasana, yang tadi nya haru menjadi tertawa tersipu malu.
Bisa – bisa nya di keadaan seperti itu ia berkomentar, “Udah nangis nya sayang, kita masih bakalan sering – sering ke sini ngunjungin ibu sama ayah, kalau gini Uda jadi bingung mau gendong Aafiyah atau Qaira biar diam” ucap nya yang disambut tawa ibu, ayah ku dan juga bu Hasnah, dan tidak lupa pengasuh nya Qaira juga tersipu malu – malu mendengar perkataan ayah nya Qaira barusan. Ku lihat ke arah nya dengan tatapan yang sama, ia pun sepertinya sudah sangat hafal dengan tatapan itu.
Selama di pesawat Qaira berada di gendongan ayah nya. Aku tepat di sebelah ayah nya Qaira. Sesekali Qaira meraih tangan ku. “semoga nanti adek nya Qaira laki – laki ya, biar sepasang jadi ayah nya ada teman pergi solat jumatan, tapi kalau dikasih perempuan lagi juga Uda alhamdulillah biar Qaira ada temen nya.” ia melihat ke arah ku seakan – akan meminta persetujuan atas pertanyaan nya ataukah pernyataan nya barusan. Aku hanya menggeleng sinis ke arah nya. “loh, kok ekspresi nya gitu, ini hal – hal yang harus di bicarakan di awal – awal pernikahan kan..? tanya nya ke arah ku yang tadi tak bergeming atas pendapatnya yang pertama.