Aku buru – buru menuju dapur agar tidak banyak mata yang mulai menatap aneh ke arah kami. Ku bisik kan pelan di telinga nya, “Jangan di ikutin, gak enak sama yang lain.” Aku memperingati nya terlebih dahulu meskipun aku tidak yakin ia akan mendengarkan. “hemppp, iya.” Dengan tatapan khas nya selama ini dan tentu saja tanpa perlu di komando ia mengikuti ku menuju dapur. Ku dadar kan telor untuk lelaki yang bergelar suami ku, dengan semangat ia menyantap dadar telor sederhana dengan bumbu seadanya itu. “Enak ya bang sekarang dah ada bini, mau makan ada yang nemenin.” Salah satu sepupunya ternyata datang menyusul kami di dapur.
“Makanya halal kan apalagi..?” sepupu nya hanya tersenyum mendengar kan celotehan Azlan barusan. “Banyak pertimbangan bang.” Tambah nya menimpali. “Cinta itu gak perlu pakai di timbang, gak ada kadar nya berat kah atau ringan. Cukup yakin saja kalau dah yakin halalkan. Jangan gantung anak gadis orang.” Sepertinya sepupu Azlan mulai tidak nyaman mendengar jawaban Azlan barusan dan memilih pergi meninggalkan kami berdua di dapur. “Ishh Uda nih, tiap orang kan beda – beda dalam hal kesiapan mental untuk menikah. Dia jadi gak nyaman kan makanya pergi gitu aja.” Aku merasa bersalah ada diantara percakapan ini tetapi tidak bisa berbuat apa – apa. Sebenaranya aku ingin menimpali tetapi aku tidak yakin karena mungkin terkadang bagi sebagian orang hanya butuh di dengarkan saja tanpa meminta untuk di komentari.
“Menikah itu perkara hati Aafiyah... kalau hati ini sudah yakin, gak perlu yang lain. Tinggal minta ke maha pembolak balik hati agar semakin di yakinkan, itu saja...” Ia menjelaskan pernikahan menurut versi nya yang sebenarnya ku amini dalam hati. Apa yang Azlan sampaikan memang ada benar nya. Menikah itu urusan hati, jika yakin maka sapa lah yang memberikan keyakinan itu untuk memberi restu nya. Sebelum seperti sekarang dua sejoli hanya perlu yakin dengan jodoh yang telah di pilihkan. Dan rasanya sebagian besar dari mereka hidup dengan bahagia seperti kisah ayah dan ibu ku yang menikah karena di perjodohan.
“Jadiii... hemppp Uda waktu itu langsung yakin kalau Aafiyah jodoh Uda..?” aku beranikan menanyakan ini pada Azlan yang hampir tersedak minuman nya sesaat setelah mendengarkan pertanyaan ku barusan. “Uda yakin setelah kita berpapasan sewaktu lari pagi waktu itu, kalau Aafiyah adalah jodoh Uda.” Aku menatap nya heran, bukan kah saat itu dia sudah tahu jika aku akan segera menikah, pinangan ku sudah di depan mata. “Uda bukan nya udah tahu kalau Aafiyah waktu itu sudah akan di lamar..?” aku berusaha memastikan kalau dugaan ku barusan benar adanya. Ia hanya mengangguk dan meneruskan makan nya. “Dadar telor kali ini beda, istimewa lain pulak rasa enak nya.” aku melihat nya dengan menyunggingkan satu bibir ku ke atas 45 derajat.
Setelah masa perkenalan selesai, baru lah hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Ada banyak kado yang aku dan Azlan terima dari sanak sadaura yang datang memberikan selamat. “Buka lah kado – kado nya Fiyah.” Sebenarnya aku ingin menolak dan langsung menuju tempat tidur. Mata ini rasanya sudah tidak bisa menahan kantuk yang sejak tadi mulai datang. Tetapi aku tidak enak menolak ajakan ibu mertua ku, dengan mata yang sudah tidak bisa diajak kompromi aku di bantu Azlan membuka beberapa kado.
Mulai dari perlengkapan makan, baju couple, sampai peralatan dapur. Dengan setengah mengupa ku lanjutkan membuka kado berikutnya. Azlan dan ibu mertua ku sepertinya menyadari kalau aku memang sangat amat mengantuk. “Besok aja kita lanjutin lagi ya, Uda dah ngantuk.” Akhirnya kata – kata penyelamat itu keluar juga setelah lebih 30 menit berjuang untuk tidak tertidur.
Setelah bersih – bersih dan berwudhu aku bersiap untuk tidur di kamar yang masih asing untuk ku tempati, tapi aku harus tidur karena mata ini sudah tidak bisa lagi di ajak sekedar kompromi beberapa menit saja. Tidak ku perhatikan lagi sekeliling, aku hanya ingin segera membaringkan tubuh lelah ini agar besok pagi menjelang aku sudah siap dengan apa pun yang terjadi. “Parah banget ngantuk nya..? suara itu sedikit mengusik kantuk ku. Tapi untuk sekedar mengangguk saja aku tak mampu lagi.
Entah jam berapa sekarang karena lampu di kamar ini sengaja di matikan oleh Azlan, aku terbangun dari tidur yang benar – benar lena tadi. Ku raba kasur di sebelah ku ternyata Azlan tidak ada disana. Mungkin ia memilih tidur di kamar nya Qaira. Ku langkah kan kaki perlahan dan mencoba meraba dinding untuk menghidupkan lampu yang tadi sengaja di matikan nya. Sesaat lampu itu menyala ku lihat ayah nya Qaira tertidur di Sofa yang ada di sebelah jendela besar yang mengarah ke balkon kamar itu. Ku dekati lelaki yang kini bergelar suami ku itu yang tidur nyenyak dengan album foto masih ia pegang dalam tidur nya.