Merindu Sewindu

Fitri Handayani Siregar
Chapter #17

#17 Aku Kembali Ke German

Pagi di Jakarta sungguh jauh berbeda dengan di Pandai Sikek, hawa sejuk nan segar itu tak lagi bisa ku rasakan saat terbangun, meski telah duduk di depan balkon yang jendela nya sudah terbuka lebar, rasa gerah masih menyeruak meski se pagi ini. “Pagi sayang..” mood pagi ku mendadak berubah dari rindu suasana dan hawa sejuk Pandai Sikek sekarang harus extra waspada. “Kalau ada yang denger kan gak enak Da..” entah mengapa aku masih belum nyaman mendengar kata – kata sayang itu di ucapkan oleh lelaki yang sudah bergelar suami di hadapan ku ini. Mungkin aku bukan tipe wanita yang akrab dengan kata – kata sayang atau cinta, aku lebih suka di panggil Aafiyah saja.

“Da, hempp...” ada hal penting yang harus aku sampaikan pada Azlan segera, karena dateline nya juga sudah semakin mendesak. “Hemppp.....Iya.” jawab nya. Aku khawatir dan tidak enak melihat mood pagi nya akan berantakan setelah mendengar apa yang akan aku sampaikan. “Hempp... seminggu lagi Aafiyah harus balik ke German.” aku menatap nya dalam ingin melihat bagaimana reaksi nya setelah mengetahui aku akan menyelesaikan study ku kembali ke German. “Uda boleh ikut antar..?” tanya nya serius. Aku terkejut mendengar pertanyaan nya. Bukan apa – apa, karena kamar atau dorm (Dormitory) untuk mahasiswa pasca sarjana yang aku tempati sangat kecil dan akan begitu sesak jika ditempati oleh dua orang meski itu hanya beberapa hari saja.

Itu artinya aku akan tidak punya privasi lagi di dorm yang sudah hampir dua tahun ku tempati, jika Azlan juga ada di ruangan yang sama. Eitss... tapi tunggu dulu aku harus memastikan pertanyaan yang baru saja di ucapkan nya, itu hanya sekedar sampai bandara kah atau...???. “Uda mau antar Aafiyah ke bandara...? ya boleh lah.” Berharap dugaan ku benar. “Ya gak lah.. sampai ke German dan menetap disana untuk satu atau dua bulan.” Ia mengucapkan kata – kata itu tanpa ada keraguan sedikitpun. Aku menatap nya tidak yakin, ini pasti sense of humor nya yang memang kadang begitu tak bisa di pahami logika ku. Bagaimana bisa ia meninggalkan pekerjaan nya selama satu atau dua bulan demi menemaniku di German. Dan bagaimana dengan Qaira..?

“Udaaaa...” rengek ku manja. “Aafiyah seriussss... kalau Uda disana untuk satu atau dua bulan lantas bagaimana dengan Qaira..? dengan pekerjaan Uda disini..?” tanya ku menelisik apakah ia memang betul – betul serius dengan ucapan nya barusan. “Aafiyah.... Aafiyah...”  ia tertawa dan merangkul bahu ku yang berusaha ku cegah tetapi terlambat karena tangan nya sudah melingkar di bahu ku. “Uda juga serius, pekerjaan itu soal gampang yang bisa dikerjakan dari German, dan Qaira di Jakarta dulu sementara dengan mama selama kita bulan madu disana, kalau Qaira kangen kan bisa nyusulin kita..” mendengar kata – kata nya barusan seolah semua urusan adalah hal yang gampang dan dalam kendali nya.

“Aafiyah serius Da...!” aku menekankan kalau kali ini aku serius karena ini menyangkut study ku yang sudah hampir selesai, dan tentu saja tentang pernikahan ini dengan segala kerumitan nya. “ Kita disana bukan mau bulan madu..! Aafiyah akan menyelesaikan study. Kita kan sudah sepakat sebelumnya tentang masalah ini. Gimana kita mau berbagi kamar dengan ibu dan Qaira selama disana..? kamar itu saja sukur – sukur masih cukup untuk kita berdua.”

Aku sedikit terpancing suasana, mood pagi ku dari yang tadi nya baik – baik saja mulai agak sedikit berantakan. Ia melihat ke arah ku dan sedikit kelihatan bingung. “Kenapa harus berbagi kamar dengan ibu dan Qaira..?” Tanya nya penasaran dan melepaskan rangkulan tangannya dari bahuku, sekarang kami berdua sedang beradu pandang satu sama lain. “Aafiyah disana itu tinggal di dorm, bisa uda bayangkan dorm itu tidak lebih besar dari ruang tamu dirumah ini. Mungkin untuk kita berdua saja hanya untuk sekedar punya privasi akan sulit rasanya, apalah lagi berempat.”

Ia terlihat baik – baik saja dengan penjelasan ku barusan, apakah ini artinya ia akan memutuskan untuk tidak jadi ikut ke German..? Ohh, syukurlah karena rasanya aku belum siap untuk berada dalam satu ruangan sempit dengan lelaki yang sulit untuk di tebak apa maunya ini. Bukan berarti aku belum siap untuk menerimanya utuh sebagai imam ku, tetapi karena alasan klise ini, tempat tidur ku yang hanya single bed, dan bisa kau bayangkan jika aku atau dia yang harus mengalah untuk tidur di lantai saat musim dingin. Mungkin salah satu dari kami akan mati karena hipotermia, atau jika kami memutuskan untuk satu tempat tidur itu artinya bahkan tidak akan ada jarak se centi pun antara aku dan ayah nya Qaira.

“Jadi, gimana...? Uda gak jadi kan untuk menetap disana sementara..?” aku ingin memastikan situasi ini segera. “Ya, jadilah... bagus kan kalau kita di dorm yang gak terlalu besar, jadi kita bisa cepat – cepat akrab dan..” ia tidak meneruskan kalimat nya. Aku juga tidak ingin salah melanjutkan kalimatnya oleh karena itu aku memilih untuk tidak mengomentarinya. Semoga saja privasi ku saat berada di sana tidak hilang karena salah dalam mengambil keputusan hari ini.

Lihat selengkapnya