Setelah mendapatkan pesan dari Hanif, hari ku terasa berbeda. Entah mengapa aku ikut merasa bersalah atas situasi yang diterimanya mungkin tidak dengan lapang dada tetapi dengan keadaan terpaksa. Semua perlengkapan aku dan Azlan sudah siap untuk berangkat ke German, hari ini aku sudah berpamitan dua kali dengan ibu karena ayah ku menghubungi kembali menyakan kapan aku kembali ke Pandai Sikek setelah dari German, Ibu mertua ku tidak kalah perduli nya dengan Azlan, ikut mengecek bahwa semua barang bawaan kami sudah ada di dalam tas nya masing – masing dan tidak ada yang tertinggal.
Ku lihat wajah mungil Qaira, berbisik dalam hati “sabar sayang, sebentar saja bersabar agar kita bisa bersama lagi”. Ku kecup kening nya, ia tertidur lelap dalam dekapan ibu mertua ku. Apa yang aku bayangkan seminggu lalu ternyata tak begitu suratan takdir yang Allah sudah atur untuk kami hari ini, jauh lebih indah dari apa yang pernah ku bayangkan. Hari ini perjalanan panjang akan di mulai, perjalanan untuk bisa saling mengenal pribadi satu sama lain antara aku dan Azlan.
"16 jam yang panjang...” Azlan melihat ke arah ku yang sedang memandangi gedung – gedung tinggi yang menghiasi jalan di Jakarta menuju bandara dari balik jendela. “berubah pikiran kah...? belum terlambat loh, kita masih belum di pesawat.” Ledek ku ke arah nya. Ia hanya tersenyum mendengar apa yang ku ucapkan barusan. Ibu mertua ku yang satu mobil dengan kami ikut tersenyum mendengar nya. “Nanti transit pertama jangan lupa kabarin mama ya Fii...” aku mengangguk dan tersenyum ke arah nya. Perhatian kecil ini sungguh berarti besar untuk menantu yang tiba – tiba datang dalam keluarga ini karena insiden yang siapa pun tidak pernah inginkan akan terjadi dalam hidup nya.
Ibu mertuaku memeluk aku dan Azlan erat sekali, ia sapu air mata di pipi nya agar aku dan Azlan tidak melihat bulir – bulir bening tanda kasih sayang nya itu jatuh dari pelupuk mata wanita yang selalu menginginkan yang terbaik untuk anak nya ini. “pesan mama, apapun yang kalian lalui nanti, libatkan Allah di dalamnya nak, tidak ada yang bisa menolong selain Nya.” kata – kata nasehat yang sungguh dalam makna nya. Semoga saja kami dapat melalui segalanya dengan baik ma, bisik ku dalam hati.
Aku melihat awan dari balik jendela pesawat, sekarang kami berada di ketinggian sekian ribu kaki dari tanah. “deg – deg an...? “ setelah bertanya Azlan memegang tangan ku erat, aku melihat ke arah nya heran. “kalau uda genggam gini masih deg – deg an juga...?” aku tersenyum kecut ke arah nya, setengah berbisik aku bilang, “bukan deg – deg an lagi, rasanya mau pingsan.” Ku tutup kalimat itu dengan senyuman. Azlan yang mendengarnya tersenyum dengan gigi rapi berbaris melihat ke arah ku. Ia pindahkan tangan nya yang menggenggam tangan ku ke arah bahu ini, dan tangan satu nya dengan sigap menggenggam tangan ini, mata ku sedikit membuka lebar dan melihat ke arah nya seakan bertanya dengan sikap nya ini.