MERMAIDIA

A D A B A N A
Chapter #1

M.1 - COLORATURA

Di kedalaman samudera yang luas, tampak sekelompok lumba-lumba berenang kompak. Tampak juga seekor hiu berenang seorang diri di atas pasir putih, namun ia tidak benar-benar sendirian; tiga ekor ikan remora berenang di bawahnya, mengikutinya ke manapun ia pergi. Dua ekor ikan badut tengah bermain di sekitar anemon laut. Seekor gajah laut juga kini menyantap rumput-rumput laut yang tumbuh banyak di daratan pasir putih.

Hingga rombongan ikan tuna menghiasi birunya lautan. Jumlah mereka yang ribuan membuat mereka tampak indah ketika berenang bersama membentuk pola.

Di sisi lain, di area bebatuan karang, tampak banyak ikan lucu dengan beraneka bentuk dan warna tengah bermain riang. Sementara itu di permukaan air, dua ekor paus orca tampak berkencan mesra, sekali-kali berlomba-lomba mendapatkan oksigen dari luar. Tak jauh dari permukaan, seekor ikan pari melakukan aksi akrobatik seorang diri meski tak satupun ikan kecil yang lewat di sekitarnya peduli dengan aksinya.

Ikan-ikan dan mamalia-mamalia laut hidup dalam keharmonisan, menciptakan melodi tersendiri yang membuahkan ketenangan pada air Samudera Adabana yang tak pernah tercemar; mungkin, setidaknya sampai para ilmuwan gila Heroglossy meluncurkan tangki minyak pertama mereka di Pelabuhan Mwine. Ada saja yang dilakukan orang-orang Heroglossy untuk mencemari lautan dengan benda-benda berisik mereka, terlebih lagi bila asap yang mengepul dari cerobong kapal buatan mereka itu sudah mengontaminasi udara.

Di balik keburukan itu, lautan Mermaidia masih menyatakan kedamaiannya. Jutaan ikan berenang bersama, saling bersenda gurau satu sama lain, diiringi oleh nyanyian samudera yang entah muncul dari mana. Di tengah kehidupan damai para makhluk laut di kedalaman lautan itu, seekor puteri duyung muda berekor ungu cerah dengan rambut panjang merah muda tergerai cantik tampak berenang sendirian.

Hanya berenang. Entah apa yang puteri duyung itu lakukan di area bebatuan karang, tak seharusnya ia menjelajahi area itu, pasalnya para manusia duyung hampir tidak pernah ada yang tampak keluyuran di lautan bebas meninggalkan kota mereka sendiri.

Hingga malam tiba. Kegelapan melanda lautan malam itu. Cahaya rembulan di langit tampak begitu samar, hanya menyinari sebagian lautan, sebagiannya lagi hitam kelam tanpa penerang. Meski begitu, seekor paus biru tampak masih berenang dalam kesepian di lautan kosong tanpa hiburan. Sekali-kali paus itu bernyanyi, suaranya begitu merdu. Ia mencoba memanggil siapapun yang bisa ia ajak berteman, meski hanya kekosongan yang ia dapatkan.

Di atas padang pasir putih yang sepi, di dalam tumbukan pasir, tampak suatu benda mengilap berwarna jingga. Pantulan cahaya rembulan yang membias ke dalam laut mengenai bagian epidermis permata pada kalung itu sukses menarik perhatian seekor puteri duyung yang masih keluyuran di lautan bebas sejak tadi siang.

"Cantik sekali!" ungkapnya takjub. Ia pun mengambil kalung itu dan memakainya di lehernya.

Ia lalu lanjut berenang menuju suatu kawasan gelap gulita yang dipenuhi oleh semak-semak lebat yang sangat tinggi, menyerupai hutan. Jalurnya mirip labirin. Siapapun yang tak mengenal arahnya mungkin akan tersesat selama berhari-hari.

Tapi ia sangat mengenal setiap arahnya, ia sama sekali tidak takut menyusuri jalur yang kemudian membawanya ke sebuah gua dengan tirai dedaunan gulma laut yang tak kalah lebat. Di balik gua itu, tampak sebuah kota bawah laut yang terang benderang, lagaknya masih dihiasi oleh hingar bingar perkotaan.

***

Sesampainya di kediamannya, sebuah bangunan dari batu yang mirip rumah susun itu, ia harus menghadapi seorang wanita duyung tua bertubuh gendut dengan rambut keriting mengerutkan dahi ke arahnya, menatapnya serius. Ia menelan ludah gugup, sudah menebak ia akan segera dimarahi.

"HAWWIN!" seru wanita tua itu tegas, memastikan penekanan kuat untuk setiap fonim yang keluar dari mulutnya, menyebut nama puteri duyung muda yang kini menunduk takut di hadapannya.

Nyonya Dulgam, wanita tua itu, adalah pemilik rumah susun tempat Hawwin tinggal. Ia sudah geram dengan Hawwin yang sudah sebulan penuh belum membayar tunggakan-tunggakannya. Terlebih lagi ia sudah mendengar dari beberapa duyung kalau Hawwin ketahuan keluar menuju labirin cokelat, area terlarang bagi para penduduk kota peradaban duyung itu.

Hawwin menelan ludah. Ia tahu ia salah, tapi ada alasan kenapa ia keluar. Hanya saja ia tidak mungkin bermuluk-muluk mengungkapkan maksudnya pada Nyonya Dulgam, ia tidak pandai mengolah kata.

Pada akhirnya Hawwin tetap harus menjalankan hukuman bulanan dari Nyonya Dulgam, yaitu bercinta secara terpaksa dengan pria pelanggan pasar gelap, siapapun itu. Kebetulan suami Nyonya Dulgam adalah dukun terhormat di pasar gelap itu yang kerap menyuruh para pelanggannya bercinta dengan budak-budak yang dimilikinya tanpa memandang jenis kelamin.

***

Lelah sekaligus kesal. Tapi apa boleh buat, ia tidak berani melawan Nyonya Dulgam, mentalnya terlalu lemah. Setelah melayani dua orang pria sekaligus dalam satu malam hingga fajar tiba, ia pun kembali ke rumah susun dan beristirahat. Ia merebahkan tubuhnya di atas dipan menempel dindingnya, sembari memandangi langit-langit kamar yang dihiasi kerang tanpa mutiara.

Lihat selengkapnya