merpati pengantar surat

Helmy thaher
Chapter #2

Langkah awal dalam sunyi

Hujan turun dengan lebat, suara rintik yang berisik memenuhi ruangan kelas seni. Awan gelap menggantung rendah, seolah menghalangi cahaya masuk ke dalam ruangan. Udara lembap memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma cat minyak dan kertas basah.


Di tengah suasana itu, Arta duduk di bangku paling ujung, tenggelam dalam dunianya. Sembari melihat kearah kanvas yang masih kosong, dan mendengarkan irama acak dari rintik hujan yang tak kunjung berhenti. Kadang suara yang tampak berisik ini, sesekali bisa menenangkan bagi Arta.


Di ruangan yang sama, suasana sedikit riuh. Beberapa siswa sibuk bercanda, yang lain dengan serius mencelupkan kuas ke dalam cat. Namun, Nara berbeda. Ia duduk di dekat jendela. Mata gelapnya tampak kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari ruangan itu, seperti tenggelam oleh suara.


Pak Angga, guru seni mereka, berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah kanvas.

“Hari ini, kita akan berbicara tentang bagaimana seni bisa menjadi medium untuk menyampaikan perasaan,” ujarnya.

“Tidak ada aturan di sini. Apapun yang kalian rasakan, cobalah untuk menuangkannya ke dalam karya kalian.”


Arta mendengar itu, tetapi ia tidak mengangkat kepala. Ia seperti sudah tahu apa yang ingin ia gambarkan—pohon itu, dengan dahan-dahan yang tampak patah dan kehilangan daun.

Tapi setiap kali ia mencoba menambahkan lebih banyak detail, tangannya terasa berat.


“Kenapa kau tidak menambahkan warna di sana?” suara lembut Pak Angga, bertanya pada Arta

Lelaki paruh baya itu berdiri di sampingnya, memandangi lukisan yang belum selesai.

“Kadang, warna bisa menyampaikan emosi lebih baik daripada garis.” Ucap pak Angga

Arta tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala sedikit, melanjutkan gerakannya tanpa banyak reaksi. Pak Angga tidak mendesaknya lebih jauh, memahami bahwa muridnya itu tidak nyaman jika terlalu banyak diberi perhatian.


Namun, di sudut ruangan, Nara memperhatikan. Ia sudah sering melihat Arta di kelas seni, namun jarang melihat apa yang Arta buat. Nara akhirnya melepaskan pandangannya dari jendela. Perhatiannya tertuju pada Arta, yang duduk sendirian. Ia mengenal Arta hanya sebatas nama dan tahu bahwa pemuda itu jarang berbicara. Namun, ada sesuatu yang membuatnya penasaran pada Arta.


Setelah Pak Angga beranjak, Nara bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah perlahan ke arah Arta, pura-pura melihat karya siswa lain di sepanjang jalan. Tidak ada yang menyadari langkahnya, termasuk Arta sendiri. Saat ia tiba di dekat meja Arta, ia berhenti.


“Kamu suka membuat sesuatu yang... rumit, ya?” tanya Nara tiba-tiba.

Arta sedikit terkejut, namun ia tidak bereaksi terlalu jelas. Ia hanya mengangkat kepalanya sebentar, menatap Nara, lalu kembali menunduk.

“Aku suka detailnya,” lanjut Nara.

“Ada sesuatu yang... berbeda di sana. Apa maksudnya?” tanya Nara

Lihat selengkapnya