Langit Yogyakarta memancarkan rona biru lembut, seakan memeluk kota itu dengan kedamaian yang telah lama mengakar. Di sebuah rumah besar bercat krem dengan jendela-jendela kayu yang selalu terbuka untuk menyambut angin lembah, hidup Hamid, pria yang dihormati banyak orang. Ia adalah pengusaha sukses di bidang kerajinan kayu, seorang lelaki yang tampak seperti pilar kokoh bagi keluarganya, namun memiliki kelembutan yang membuat siapa pun merasa tenteram di hadapannya.
Di ruang makan, meja kayu jati besar itu dipenuhi kehangatan. Nur, istrinya, sedang menata mangkuk-mangkuk kecil berisi bubur sumsum, sementara Aisyah dan Fatimah, anak-anak perempuan mereka, duduk di kursi dengan penuh tawa. Aroma teh melati menguar di udara.
“Ayah,” Aisyah, gadis berusia sepuluh tahun dengan mata bercahaya, memanggil, “Nanti sore kita jadi ke Taman Pintar? Fatimah sudah bilang ke teman-temannya kalau kita akan ke sana.”
Hamid menatap putrinya sambil tersenyum. Ada sesuatu dalam cara ia memandang anak-anaknya—perpaduan antara rasa bangga dan kekhawatiran. “Tentu, sayang. Tapi setelah Ayah selesai bertemu dengan Pak Karim. Kita ke sana langsung, ya?”
Fatimah, yang baru berusia tujuh tahun, menoleh ke Nur dengan mata memelas. “Ibu, kalau Ayah lama, Ibu saja yang antar, ya?”
Nur terkekeh kecil, menyapu rambut Fatimah yang keriting dengan lembut. “Sabar, sayang. Ayah pasti tidak akan lama. Lagipula, bukankah Ayah yang paling jago cerita tentang bintang-bintang di sana?”