Malam itu, Nur duduk sendirian di ruang tengah. Lampu temaram memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan di dinding yang bergerak pelan bersama tirai yang tertiup angin. Di tangannya ada album foto yang sudah lama tak ia buka. Ia ragu sebelum membuka sampulnya, tetapi akhirnya ia menyerah pada keinginan untuk melihat kembali fragmen hidupnya yang dulu.
Foto pertama menunjukkan Nur dan Hamid di hari pernikahan mereka. Wajah mereka berseri-seri, penuh dengan cinta dan keyakinan akan masa depan. Nur mengusap foto itu dengan ujung jarinya, mengingat betapa ia pernah percaya bahwa kebahagiaan mereka akan abadi.
“Kenapa semuanya bisa begini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam.
Ia terus membalik halaman, mengingat momen-momen yang dulu membuat hatinya berbunga. Foto mereka saat berbulan madu di pantai, Hamid yang membawanya naik perahu kecil meski ia takut air, dan senyum lebar Hamid ketika Nur akhirnya tertawa di atas perahu itu. Namun, di balik semua itu, rasa sakit kembali menyeruak.
Di kamar lain, Hamid berdiri di depan jendela, memandangi langit malam yang gelap. Ia tahu Nur sedang mengenang sesuatu—ia bisa merasakannya dari suasana rumah yang terasa berat. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari cara untuk mengatasi jarak yang semakin terasa di antara mereka.
“Apa aku benar-benar telah menghancurkan semuanya?” pikir Hamid, matanya menerawang jauh.
Hamid teringat hari ketika ia memutuskan untuk menceritakan kebenaran kepada Nur. Ia tahu itu adalah keputusan yang benar, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah membuka luka yang begitu dalam di hati istrinya.
Keesokan paginya, Nur menemukan dirinya duduk di tepi tempat tidur, memegang cincin pernikahannya. Ia tidak pernah melepas cincin itu, meskipun hatinya sering merasa kosong.
Ketika ia memandang cincin itu, ia teringat janji-janji yang mereka ucapkan di depan penghulu.