Pagi itu, rumah mereka dipenuhi dengan suara tawa. Aisyah dan Fatimah sedang berlomba menyelesaikan tugas menggambar, sementara Ali menjadi juri yang sibuk memberi komentar lucu. Nur memandangi mereka dari dapur, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia mulai merasakan kehangatan yang lama hilang, sebuah harmoni yang perlahan terbentuk di tengah keluarga mereka.
Hamid masuk ke dapur, membawa sekeranjang buah mangga dari kebun kecil di halaman belakang. “Ini hasil panen pagi ini,” katanya sambil menaruh keranjang di meja.
Nur tersenyum sambil memotong mangga. “Anak-anak pasti suka. Ali sekarang mulai doyan makan buah, lho.”
Hamid mengangguk, lalu berdiri di samping Nur. “Aku bersyukur, Nur. Apa yang terjadi sekarang ini seperti keajaiban.”
Nur berhenti sejenak, menatap Hamid. “Aku juga. Butuh waktu, tapi akhirnya aku mengerti. Ali bukan salahmu, dan dia pantas mendapatkan kasih sayang yang sama seperti anak-anak kita.”
Hamid menggenggam tangan Nur dengan lembut. “Terima kasih, Nur. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.”
---
Di ruang tamu, Aisyah dan Fatimah menarik Ali untuk bermain ular tangga bersama. Awalnya, Ali terlihat canggung, tetapi suara tawa kedua saudarinya membuatnya ikut tertawa. Mereka bergantian memegang dadu, bercanda, dan sesekali menggodanya karena kalah.
“Ali, jangan menyerah! Kali ini pasti bisa menang,” ujar Fatimah sambil menyemangatinya.
Ali tersenyum lebar. “Kita lihat saja nanti!”