Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #2

#2 Seorang Bermantel Basah yang Duduk di Sampingku

“Melarikan diri atau lari dari seseorang?”

Aku menoleh. Bangku di sampingku yang sebelumnya kosong, kini terisi. Pemilik suara itu, --yang bertanya entah pada siapa-- seorang lelaki dengan mantel basah. Tetesannya jatuh satu-satu di lantai, dekat kakinya. Aku bergeser.

“Maaf,” Dia menaruh ransel dengan setengah membanting, kemudian melepaskan mantel basahnya. “Hujannya deras sekali.”

Aku hanya mengangguk. Hujan memang mengguyur tak henti sejak pagi.

“Jadi, kau melarikan diri atau lari dari seseorang?”

Aku memandangnya, memastikan dia bertanya padaku. Tetapi, dia tidak melihatku. Lelaki itu sibuk mencari sesuatu di sakunya. Seketika aku waspada. Aku pernah satu bangku di bus dengan lelaki berpakaian necis yang pura-pura kehilangan dompetnya.

“Arrg. Pasti ketinggalan!” Erangnya lirih. Aku menggenggam erat tali ranselku, bersiap menyingkir kalau dia mulai mengatakan sesuatu.

"Kau punya korek?”

Pertanyaan macam apa itu? Aku menggeleng.

“Pasti nggak punya kan? Nggak apa-apa.” Dia membanting kotak kecil putih persegi panjang. Aku baru paham dia mencari korek untuk menyalakan rokoknya.

“Kalau saya melarikan diri,” katanya. “Lari dari kenyataan.” Dia tertawa, suaranya seperti sudah pernah kudengar, tapi entah di mana.

“Bertahun-tahun meyakini hal yang sama, ternyata tidak cukup untuk bertahan. Apalagi ketika tiba-tiba orang yang kau percaya mengatakan ada satu perbedaan yang mungkin sulit untuk dibangun jembatan. Kau tahu, omong kosong macam apa itu?”

Tenggorokanku seketika kering. Lima belas jam sebelum aku duduk di sini, seseorang yang tak ingin kusebut namanya juga mengatakan perihal perbedaan kepadaku. Dia bertanya berulang-ulang, apakah aku akan pergi lagi atau tetap tinggal? Dia, seseorang yang tak ingin kusebut namanya itu, mengatakan bahwa dirinya khawatir, semakin lama aku pergi semakin ia tak mengenaliku lagi. Kalimat macam apa itu?

“Rasanya seperti ditusuki paku. Di sini.” Lelaki di depanku menepuk dadanya.

Ya, tepat, aku juga merasakan hal yang sama. Sakit sekali. 

Aku pulang, setelah beberapa musim di perantauan. Kubawa berlembar-lembar cerpen dan puisiku yang dimuat media. Kuceritakan padanya bagaimana aku menulis di malam-malam panjang. Bagaimana sakitnya mendapat penolakan. Bagimana aku berhemat agar bisa membeli kuota.

Kukatakan pula padanya bahwa tulisan yang ini, atau yang itu, terinspirasi oleh masa-masa yang pernah kami lewati. Kusodorkan kepadanya untuk membaca. Tapi tanggapannya, justru sebuah pertanyaan yang membuat aku ternganga, “Aku bilang Pak Lurah kalau kamu akan pulang dalam waktu dekat,” sama sekali di luar yang aku duga.

“Setelah semua yang dia katakan, saya kira saya tak perlu bertanya apa maksudnya.” Lelaki di samping membuyarkan lamunanku. Tetapi di saat yang sama juga menggiringku pada ingatan akan seseorangnya yang tidak mau aku sebut namanya itu.

Kemarin sempat kutanya, apa maksudnya perkataannya? Kenapa pula membawa-bawa Pak Lurah? Tetapi, lelaki yang tak ingin kusebut namanya itu justru melontarkan kalimat begini, “Kukira selama ini aku memahamimu. Ternyata tidak. Mungkin aku memang terlalu jauh untuk mengimbangi pikiran-pikiranmu.”

Seketika aku merasa kesal. “Maksudmu apa sih?” kembali kusodorkan pertanyaan yang sama. Dan sekali lagi, dia menjawab di luar yang aku kira. “Pergilah kalau ingin pergi. Aku tidak akan menahanmu. Aku tidak mau jadi penghalang apa yang kamu inginkan, sebab aku tidak bisa memberi apa yang kamu impikan. Kita tak perlu pura-pura lagi.”

Lihat selengkapnya